Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
Baca Juga: Permintaan energi turun, proyek Masela baru onstream satu dekade lagi
Lebih lanjut, dia pun mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan migas raksasa tingkat global seperti Shell dan Chevron memang tengah selektif untuk memilih investasi.
Selain pandemi covid-19, salah satu tantangan utama perusahaan migas global dalam beberapa waktu terakhir adalah serotan publik internasional terhadap bisnis energi fosil yang dianggap sudah berlebihan.
"Perusahaan-perusahaan migas skala dunia mendapat tekanan untuk mengurangi keterlibatannya di dalam sektor hulu migas. Dukungan masyarakat dunia tentang peranan industri hulu migas menurun. Hal ini ditandai dengan menurunnya minat untuk memiliki saham-saham perusahaan minyak kelas dunia di bursa-bursa dunia," terang John.
Dengan tekanan itu, lanjutnya, perusahaan-perusahaan tersebut mengurangi jumlah dana investasi untuk sektor hulu migas. Berkurangnya dana investasi membuat perusahaan migas harus memilih proyek apa dan di wilayah mana yang akan investasi atau ditinggalkan. "Mereka tentunya akan memilih negara mana yang aman investasi dan berisiko rendah," pungkasnya.
Baca Juga: Investasi US$ 20 miliar di Masela lenyap? Ini jalan terjal proyek kebanggaan Jokowi
Dalam hal ini, John menekankan bahwa jika Indonesia masih membutuhkan Foreign Direct Investment (FDI) di bidang Hulu Migas, maka pemerintah perlu memberikan insentif yang menarik.
"Kontrak jangka panjang yang mengandung 3C, Consistency, Clarity, Certainty. Yang bersaing dengan negara-negara lain untuk menarik FDI tersebut," katanya.
Namun, Production Sharing Contract (PSC) yang sudah berlangsung di Indonesia lebih dari 50 tahun masih menerapkan landasan konsep kedaulatan energi. "Bukankah sudah waktunya kita mengelola sendiri industri hulu migas dengan kemampuan kompetensi tenaga-tenaga asli Indonesia?" pungkas John.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News