kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45928,42   6,96   0.76%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Badai krisis memperkuat sayap Rajawali


Selasa, 27 September 2016 / 11:44 WIB
Badai krisis memperkuat sayap Rajawali


Reporter: Asnil Bambani Amri, Eldo Christoffel Rafael, Pamela Sarnia, Yusuf I Santoso | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Kepakan sayap bisnis Rajawali Corpora tak hanya mengitari Nusantara. Daya jelajah Rajawali menjangkau negeri Jiran Malaysia. 
Yang terakhir, pada Mei 2016, perusahaan milik taipan Peter Sondakh itu meluncurkan St Regis Hotels & Resorts di Langkawi, Malaysia. Resort mewah senilai US$ 100 juta itu memperkokoh bisnis Rajawali Corpora di Malaysia. Melalui Rajawali Property, ia juga menjalin kerjasama dengan operator hotel, Starwood Resorts and Hotelstuk  mengelola Sheraton Imperial di Kuala Lumpur, Malaysia. 

Tak ketinggalan di dalam negeri, Rajawali Property telah menguasai enam hotel berbintang lima serta perkantoran Capital Place. Ini adalah proyek kerjasama Rajawali Property dengan Government of Singapore Investment Fund (GIC). "Sektor properti merupakan sektor penting bagi Rajawali Corpora karena memberikan pendapatan yang stabil," kata Shirley Tan, Chief Executive Officer (CEO) Rajawali Property Group kepada KONTAN, akhir pekan lalu.

Beragam aksi korporasi yang dilakukan anak usaha tersebut, sukses membawa keuntungan bagi sang pemilik, Peter Sondakh. Forbes memperkirakan, nilai kekayaan Peter Sondakh tahun 2016 mencapai US$ 1,8 miliar, naik 240% dibandingkan satu dekade sebelumnya yang senilai US$ 530 juta.

Jelas tak mudah bagi Rajawali Corpora menjangkau pencapaian kekayaan tersebut. Ibarat burung, ada banyak angin kencang bahkan badai yang harus dilewati agar bisa berdiri tegak di puncak kesuksesan. 

Namun, badai dan angin kencang justru membuat sayap Rajawali semakin kokok dan kuat. "Rajawali memiliki sayap yang lebih besar dari tubuhnya, sehingga memiliki stabilitas yang besar, dan mampu terbang berkesinambungan," ungkap Peter Sondakh, pendiri Rajawali Corpora kepada KONTAN, pertengahan September 2016.  

Menjadi pioner

Berbekal filosofi Rajawali itulah, Peter berani terjun ke bisnis yang belum dijamah pengusaha lain. Pun, filosofi itu jadi modalnya untuk keluar dari belitan krisis ekonomi tahun 1997-1998. 

Ihwal merambah bisnis baru, ambil contoh, tahun 1987, Peter dan Bimantara Citra milik Bambang Trihatmodjo, mendirikan stasiun televisi swasta pertama di Indonesia, melalui PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI)).

Terobosan serupa juga dilakukan Peter saat masuk bisnis operator telekomunikasi swasta pertama yaitu PT Exelcomindo Pratama (XL) tahun 1995. meski kedua bisnis tersebut telah dia jual, namun Peter untung ratusan jutaan dolar dari kedua perusahaan tersebut. Rajawali Corporas lantas menjual sekitar 27,3% saham XL. Nilai transaksinya mencapai sekitar US$ 314 juta. 

Selain terkenal sebagai sosok pebisnis yang suka membuka jalan, Rajawali Corpora juga memiliki predikat sebagai grup usaha yang lihai mendandani perusahaan yang terancam bangkrut menjadi perusahaan yang berkinerja positif. Ini terlihat saat Rajawali membeli pabrikan rokok, Bentoel Group. Tahun 1991, perusahaan ini tengah diambang kebangkrutan. 

Setelah satu dekade dikempit, kinerja Bentoel membaik. Rajawali pun menjual seluruh sahamnya senilai Rp 3,35 triliun. Sukses di Bentoel, Rajawali kemudian hinggap lagi di bisnis baru, yakni industri semen. Di industri semen, Rajawali Corpora membeli 24,9% saham PT Semen Indonesia Tbk (kala itu masih bernama PT Semen Gresik), senilai US$ 337 juta atau setara Rp 2,96 triliun dari Cementos Mexicanos (Cemex) pada tahun 2006. Tiga tahun kemudian, Rajawali menjualnya lagi senilai Rp 9,8 triliun.

Kini, sudah lebih dari tiga dekade Rajawali mengepakkan sayap bisnis di Tanah Air. Dan tak tampak Rajawali lelah menjelajahi setiap peluang yang ada, maupun menyurutkan target incaran bisnisnya.               

Merambah banyak lini 

Sukses melewati krisis 1997, Rajawali Corpora berhadapan dengan turbulensi ekonomi tahun 2008. Perlambatan ekonomi saat itu, membuat Rajawali Corpora menggelar konsolidasi bisnis. 

Tak lama melakukannya, Rajawali bangkit dengan strategi baru. "Grup Rajawali punya strategi memiliki diversifikasi banyak anak usaha sebagai tulang punggung bisnis," kata Shirley Tan, Chief Executive Officer (CEO) Rajawali Property Group kepada KONTAN, pekan lalu. 

Dalam catatan KONTAN, diversifikasi dilakukan dengan cara akuisisi beragam bisnis. Contoh, akuisisi perusahaan tambang emas Inggris, Archipelago Resources lewat PT Archi Indonesia. Usai transaksi, Rajawali menyiapkan initial public offering (IPO). Namun rencana itu batal karena merosotnya harga komoditas pertambangan. 

Archi memiliki area pertambangan emas Proyek Toka Tindung di Sulawesi Utara. Total luas lahan konsesi itu mencapai 39.178 hektar dengan sumber daya mineral 2,7 juta ons troi dan cadangan bijih emas sekitar 1,3 juta ons troi. 

Tak hanya tambang, Rajawali mengakuisisi perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT BW Plantation Tbk (BWPT). Rajawali lantas mengubahnya menjadi PT Eagle High Plantation Tbk, tahun 2014. Di waktu yang berdekatan, Rajawali memperkuat bisnis media dengan mencaplok PT Fortune Indonesia Tbk, serta membangun kembali bisnis media dan televisi. Di bisnis media dan televisi, Rajawali membangun stasiun televisi bernama Rajawali TV (R-TV). 

Rajawali juga menguasai bisnis transportasi, baik darat maupun udara. Di transportasi darat, grup usaha ini mengandalkan PT Express Transindo Utama Tbk, yang membawahi bisnis taksi hingga bus wisata.  Sementara di transportasi udara, perusahaan ini mengusung Premiair. Ini adalah perusahaan carter pesawat terbang dan jet pribadi. 
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet

[X]
×