kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.953.000   -3.000   -0,15%
  • USD/IDR 16.500   45,00   0,27%
  • IDX 6.828   -98,48   -1,42%
  • KOMPAS100 988   -16,47   -1,64%
  • LQ45 764   -13,30   -1,71%
  • ISSI 218   -2,39   -1,08%
  • IDX30 396   -7,05   -1,75%
  • IDXHIDIV20 467   -8,64   -1,82%
  • IDX80 111   -1,85   -1,64%
  • IDXV30 114   -1,16   -1,00%
  • IDXQ30 129   -2,13   -1,62%

Bahlil Bakal Cabut Sebagian Wilayah Izin PTBA Jika Proyek DME Tak Dijalankan


Kamis, 08 Mei 2025 / 21:15 WIB
Bahlil Bakal Cabut Sebagian Wilayah Izin PTBA Jika Proyek DME Tak Dijalankan
ILUSTRASI. Bahlil menegaskan bakal mencabut sebagian WIUP milik PT Bukit Asam (PTBA) jika tidak melaksanakan proyek gasifikasi batubara menjadi DME.


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bakal mencabut sebagian wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) milik PT Bukit Asam Tbk (PTBA) jika perusahaan pelat merah tersebut tidak melaksanakan proyek gasifikasi batubara menjadi dimethyl ether (DME).

“Nanti kita akan kasih tugas. Kalau tidak [dijalankan], kita ambil sebagian wilayahnya,” kata Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Kamis (8/5).

Bahlil menekankan PTBA bukan pihak regulator, melainkan pelaksana kebijakan. Oleh karena itu, perusahaan harus tunduk pada arahan pemerintah, dalam hal ini melalui Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi dan Menteri Investasi.

“Yang mengurus hilirisasi itu Satgas Hilirisasi dan Menteri Investasi. [PTBA] dia kan bukan regulator,” tegas Bahlil.

Diberitakan Kontan sebelumnya,  Anggota grup holding pertambangan Indonesia, MIND ID, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) mengungkap update terbaru mengenai produk hilirisasi batubara yang dimiliki.

Menurut Direktur Utama (Dirut) PTBA, Arsal Ismail saat ini perseroan telah memiliki beberapa jenis hilirisasi dari batubara. Yang paling anyar terdengar adalah hilirisasi batubara menjadi Dimetil Eter (Dimethyl Ether), yang diklaim dapat menjadi substitusi dari Liquefied Petroleum Gas (LPG).

Baca Juga: Genjot Lifting, Bahlil Akan Resmikan Dua Lapangan Minyak di Natuna

"Merepresentasikan produk-produk yang sedang kami kembangkan, dan kami teliti lebih lanjut, seperti DME, SNG, Artificial Graphite, Anoda Sheet, dan Asam Humat," ungkap Arsal di DPR, Senin (05/05).

Selain DME, saat ini, PTBA juga tengah mengembangkan kerjasama hilirisasi batubara dengan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dalam bentuk Synthetic Natural Gas (SNG).

Kemudian ada pula Grafit Sintetis atau Artificial Graphite yang digunakan untuk bahan baku baterai Lithium-ion (Li-ion) dalam kendaraan listrik atau electric vechile (EV). Grafit Sintetis ini dikembangkan bersama bahan baku EV lainnya yaitu Anode Sheet.

Untuk kebutuhan pupuk, PTBA juga melaporkan telah melakukan penelitian hiliriasi batubara dalam bentuk asam humat. Zat ini dikembangkan dari batubara kalori rendah guna menjaga kadar keasaman tanah.

Dari berapa produk hilirisasi batubara yang dimiliki PTBA, ternyata terdapat kelebihan dan kekurangan, yang dapat menjadi pertimbangan dalam memilih proyek hilirisasi prioritas, sebagai berikut:

Proyek DME PTBA, pertama kali disepakati pada tanggal 10 Desember 2020. Dengan anggota konsorsium kerjasama yaitu PTBA sebagai supplier atau pemasok batubara, PT Pertamina (Persero) bertindak sebagai off taker.

Dan perusahaan gas asal Amerika, Air Products and Chemicals, Inc. sebagai pihak yang menyediakan teknologi dan membawa pendanaan dalam proyek ini.

Sayangnya, Air Products memutuskan hengkang dari proyek ini dengan alasan nilai keekonomian dan potensi pengembangan bisnis di AS.

Usai ditinggal, proyek DME ini seakan jalan di tempat. Menurut Arshal, ini karena nilai keekonomian dari DME  masih melampaui harga LPG impor. Sehingga diperlukan subsidi agar harga bisa diterima di pasaran.

Menurut perhitungan, harga DME yang dapat dihasilkan yakni senilai US$ 911 hingga US$ 987 per ton atau lebih besar dari harga patokan DME yang diusulkan oleh Kementerian ESDM pada 2021 yakni sebesar US$617 per ton yang merupakan harga pasar, namun belum termasuk subsidi. 

Jika berjalan, dengan harga di atas, maka nilai subsidi untuk DME adalah sebesar US$ 710 per ton atau lebih besar dibandingkan nilai subsidi untuk LPG pada kesetaraan DME saat ini yaitu US$ 474 per ton.

"Analisa perhitungan kami masih lebih tinggi dari harga LPG Impor. Yang kedua, ada sejumlah tantangan teknis yang disampaikan Pertamina (sebagai offtaker)," ungkapnya.

Tantangan teknis ini meliputi infrastruktur gas seperti jalur distribusi dan perangkat kompor rumah tangga yang kompatibel dengan DME.

Sebelumnya, Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha MIND ID, Dilo Seno Widagdo menyebut dalam perhitungan pihaknya, harga gas LPG yang berasal dari DME jauh lebih mahal dibandingkan jika pemerintah mengimpor LPG dari Arab Saudi melalui Saudi Aramco.

"Dari hasil sensitifiti-nya, harga DME (tercapai) itu kalau harga LPG-nya di Saudi Aramco di atas US$ 1.000 (per ton metrik), itu seharusnya baru bisa ekonomis," ungkapnya.

Ia juga menjelaskan, harga DME sebagai substitusi LPG bisa tercapai jika harga LPG impor dari Saudi Aramco naik hingga di atas US$ 1.000 per ton metrik (MT). Artinya nilai keekonomian dari DME hanya bisa tercapai jika harga LPG impor lebih tinggi.

Baca Juga: Pertamina dan ESDM Siapkan Aplikasi Khusus untuk Sub-Pangkalan LPG 3 Kg

Selanjutnya: Tanggal 10 Sudah Dekat, Pastikan Status JKN Anda Aktif dengan Bayar Iuran Tepat Waktu

Menarik Dibaca: 5 Zodiak Magnet Uang yang Mudah Menarik Kekayaan, Cermat dan Pandai Mengubah Peluang!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Cara Praktis Menyusun Sustainability Report dengan GRI Standards Strive

[X]
×