kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45982,64   -7,73   -0.78%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bakal merugikan, perusahaan PKP2B mulai menolak RPP Pajak Pertambangan


Kamis, 31 Januari 2019 / 19:10 WIB
Bakal merugikan, perusahaan PKP2B mulai menolak RPP Pajak Pertambangan


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pemerintah menyiapkan paket kebijakan bagi pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama yang akan beralih status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Salah satunya soal perpajakan dan penerimaan negara.

Dalam draft Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Batubara yang diperoleh KONTAN, ada perubahan nilai di sejumlah komponen perpajakan dan penerimaan negara.

Ada yang diturunkan, seperti Pajak Penghasilan (PPh) Badan yang akan turun menjadi 25% setelah sebelumnya dipatok sebesar 45% . Namun, kenaikan juga terjadi di komponen dana hasil produksi batubara (DHPB)/royalti yang akan naik dari 13,5% menjadi 15%.

Selain itu, ada juga Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara prevailing (menyesuaikan ketentuan perpajakan) dan pungutan sebesar 10% dari laba bersih. Ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 129 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 atau UU Minerba, dimana ketika menjadi IUPK, perusahaan wajib membayar sebesar 4% kepada Pemerintah dan 6% kepada pemerintah daerah.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menilai tarif dalam RPP itu menjadi dilema bagi permintah dan pelaku usaha. Pasalnya, UU Minerba mengamatkan adanya penerimaan negara yang lebih tinggi setelah PKP2B berubah menjadi IUPK, tapi di sisi lain, tarif yang tinggi dikhawatirkan akan membebani perusahaan sehingga mengganggu investasi jangka panjang.

Terlebih, lanjut Hendra, perusahaan pun dituntut untuk mengembangkan eksplorasi dan juga hilirisasi. "Dengan tarif yang dinaikin sangat tinggi jadi tidak ekonomis ke depannya. Jadi berat untuk investasi ke depan, jadi ini tantangan," kata Hendra kepada KONTAN, Rabu (30/1).

Menurut Hendra, kenaikan royalti yang naik sebesar 1,5% menjadi 15% akan membebani perusahaan. Meskipun ada penurunan PPh Badan, namun jika dikalkulasikan dengan kenaikan royalti adan adanya PPN 10%, maka beban perusahaan akan lebih tinggi.

"Pemerintah memang memastikan adanya kenaikan (penerimaan negara), cuman dengan adanya usulan kenaikan royalti investasi ke depan jadi kurang ekonomis. PKP2B sudah mau habis, tambang sisa harus dikembangin, kan ini investasi jangka panjang," terangnya.

Sementara itu, Head of Corporate Communication Division Adaro Energy Febriati Nadira berharap supaya kenaikan tarif royalti batubara baru dikenakan dalam kondisi harga batubara yang tinggi. Menurutnya, dalam mengenakan pajak dan pungutan di RPP ini, pemerintah dapat menerapkan formula yang bisa mendorong iklim investasi yang lebih menarik.

Apalagi, lanjut Nadira, industri batubara memiliki tingkat persaingan yang tinggi antara negara-negara eksportir. Nadira mencontohkan Australia. "Contohnya di negara bagian Queensland - Australia dimana royalti ditetapkan 7% untuk harga batubara hingga US$ 100," ungkap Nadira.

Lebih lanjut, General Manager Marketing External Relations PT Berau Coal Singgih Widagdo menilai, pada dasarnya tarif royalti 13,5% sudah wajar dengan kondisi pasar dan harga batubara internasional. Sebab menurut Singgih, kebijakan perpajakan dan penerimaan negara ini semestinya tidak hanya parsial dilihat dari elemen perpajakan.

Melainkan juga mempertimbangkan investasi di sektor pertambangan bergerak atas dasar harga internasional yang berfluktuatif. "Jadi sebaiknya nilai royalti bukan sekadar angka 13.5 % atau 15 %, namun mengaitkan dengan kondisi pasar batubara internasional, selain parameter economic cost, environment cost dan social cost dalam industri pertambangan batubara," terang Singgih saat dihubungi KONTAN, Kamis (31/1).

Singgih berpendapat, jika royalti dinaikkan, seharusnya tidak hanya diletakkan sebagai pemasukan negara, tapi juga dimanfaatkan untuk dana pengembangan riset dan teknologi batubara. Sehingga, kata Singgih, pemerintah juga perlu menyiapkan blueprint Indonesian Coal Infrastructure Plan (ICIP) dengan dana yang diambil dari royalti. "Ingat batubara bukan sebatas komoditas, tapi sebagai non-renewable energi, sehingga riset menjadi poin yang sangat strategis," tutur Singgih.

Adapun, Head of Corporate Communication Indika Energy Leonardus Herwindo dan Direktur Independen dan Sekretaris Perusahaan Bumi Resources Dileep Srivastava belum mau banyak berkomentar. Alasannya, RPP ini masih belum disahkan, sehingga masih menunggu perkembangan dari terbitnya aturan ini. "Kami menunggu keputusan akhir pemerintah tentang konversi PKP2B menjadi IUPK. Akan terlalu dini untuk berspekulasi tentang hal itu untuk saat ini," kaat Dileep.

Asal tahu saja, Indika Energy merupakan induk usaha dari PT Kideco Jaya Agung, salah satu pemegang PKP2B generasi pertama. Sedangkan Bumi Resources merupakan induk usaha dari PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia.

Sebagai informasi, dalam Pasal 14 ayat (1) RPP ini, disbutkan bahwa ketentuan ini berlaku bagi PKP2B yang kontraknya berakhir hingga tahun 2025. Adapun, ada delapan PKP2B yang akan habis kontrak dan berubah menjadi IUPK selama kurun waktu tersebut.

Yaitu PT Tanito Harum yang habis masa kontrak pada 14 Januari 2019, disusul dengan PT Arutmin Indonesia yang kontraknya akan berakhir pada 1 November 2020, PT Kendilo Coal Indonesia (13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (KPC) pada 31 Desember 2021, PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (26 April 2025).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×