Reporter: Dimas Andi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri ethanol Indonesia sedang dilanda kecemasan dan ketidakpastian. Hal ini seiring membanjirnya produk ethanol impor di pasar domestik.
Asosiasi Produsen Spiritus dan Ethanol Indonesia (Apsendo) menyebut, masalah di industri ethanol Tanah Air bermula dari adanya ratifikasi perjanjian bilateral Indonesia dengan Pakistan pada tahun 2019 silam. Kala itu, pemerintah memangkas bea masuk impor produk ethanol yang semula 30% menjadi 0%, alias bebas bea masuk.
Akibat kebijakan tersebut, impor ethanol semakin deras. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa impor ethanol ke Indonesia melonjak dari semula 608 kiloliter (KL) pada 2019, kemudian 28.040 KL pada 2020, dan 53.038 KL pada 2021. Sebanyak 80% impor ethanol berasal dari Pakistan.
Baca Juga: Harga BBM Makin Mahal, Kementerian ESDM akan Kembangkan Bahan Bakar Alternatif
“Kami dari Apsendo telah bersurat kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk meminta perlindungan industri ethanol di Indonesia,” kata Roy Chandra, Anggota Tim Advokasi Apsendo, Minggu (6/11).
Apsendo memberikan dua rekomendasi langkah penyelamatan industri ethanol dalam negeri kepada Kemendag.
Pertama, mengenakan bea masuk terhadap ethanol. Kedua, impor ethanol hanya diperbolehkan untuk bahan baku dengan menetapkan spesifikasi teknisnya, sehingga dapat memiliki nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja dalam negeri.
KONTAN sempat memperoleh salinan surat yang dikirim Apsendo kepada Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan tertanggal 19 September 2022. Dalam surat bernomor 09/APSENDO/IX-2022 tersebut, pengenaan kembali bea impor diajukan Apsendo untuk produk ethanol dengan HS code yaitu HS 2207 10 10 dan HS 2207 20 00.
“Permohonan kami tersebut diterima dengan baik oleh Menteri Perdagangan. Kami berharap permohonan ini bisa diakomodasi dalam revisi Permendag No. 20/2022 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor,” ungkap Roy.
Roy melanjutkan, berdasarkan data tahun 2021, terdapat 14 produsen ethanol di Indonesia yang tersebar di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi dengan realisasi produksi dalam setahun sekitar 180.000 KL. Adapun kapasitas produksi terpasang pabrik-pabrik ethanol di Indonesia mencapai kisaran 320.000 KL per tahun.
Dari situ, tampak bahwa kapasitas produksi ethanol yang dimiliki Indonesia belum dioptimalkan dengan baik, sehingga Apsendo menilai tidak ada urgensi untuk melakukan impor produk tersebut. Apalagi, di tahun 2021 lalu kebutuhan ethanol di dalam negeri diperkirakan hanya sekitar 160.000 KL.
Baca Juga: Bahas Pengembangan Bioethanol di Tanah Air, Menteri ESDM Bertemu Konsultan Brazil
Sebagian besar produksi ethanol Indonesia diserap oleh industri barang konsumsi seperti kosmetik dan sanitasi, industri farmasi, dan industri kimia lain yang memproduksi produk turunan dari ethanol.
Apsendo juga mengklaim para produsen ethanol lokal sudah memiliki kualitas yang tinggi dan mampu menembus pasar ekspor. Bahkan, lantaran pangsa pasar dalam negeri masih kecil, para produsen ethanol lokal sangat bergantung kepada pasar ekspor untuk mengatrol penjualannya.
“Kami juga sampaikan apabila program biofuel E5 (campuran 5% bioethanol dan 95% bensin) dari pemerintah bisa berjalan, maka ini merupakan salah satu angin segar bagi para produsen ethanol Indonesia,” pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News