Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Butuh proses yang panjang dan tidak murah, membuat beberapa perusahaan berpikir kembali untuk menerapkan sistem energi baru terbarukan (EBT). Di sisi lain, Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengaku tidak dapat bergerak sendiri untuk mendorong transisi EBT di Tanah Air.
Public Affairs, Communications & Sustainability Directors Coca-Cola Amatil Lucia Karina mengungkapkan, untuk menerapkan EBT, perusahaan dihadapkan pada berbagai tantangan. Mulai dari biaya investasi yang lumayan mahal, hingga banyaknya kendala dalam pemasangan.
"Banyak hal yang kami hadapi sejak proses dari 2017 sampai saat ini untuk mengembangkan energi terbarukan dan saya pikir ini jadi satu hal yang membuat banyak pihak ragu-ragu atau berpikir panjang untuk berinvestasi pada energi terbarukan," jelas Karina pada Seminar bertajuk Siapkah Indonesia Tanpa Energi Fosil? pada Selasa (2/3).
Ke depan, ada beberapa pekerjaan rumah (PR) yang perlu diselesaikan, diantaranya simplifikasi birokrasi perizinan. Berdasarkan pengalamannya, sekitar enam bulan Coca Cola Amatil baru bisa mendapatkan sertifikat izin operasi dan sertifikat light operation untuk bisa mengoperasikan atap solar panel di pabrik Cikarang Barat.
Baca Juga: Dorong bauran EBT, PLN laksanakan uji coba cofiring pada 26 PLTU
Selanjutnya, biaya yang mahal juga menjadi tantangan, karena biaya kapasitas dan ekspor energi ke PLN masih dipatok cukup mahal. Ditambah lagi, tidak ada stimulasi ataupun insentif kepada pengguna energi terbarukan, mengingat harus membayar panel surya yang mahal. Karina mencontohkan di Jerman, pengusaha akan mendapat insentif keuangan bagi mereka yang membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) untuk industrinya.
PR lainnya, tidak ada pengaturan batas atas harga untuk panel atap surya yang bisa dijangkau oleh masyarakat dan industri. Karina mencontohkan di China, biaya untuk satu watt peak PLTS sekitar US$ 20 sen - US$ 30 sen.
"Ini perlu menjadi PR bersama, bukan hanya industri, pemerintah dan PLN, tapi juga masyarakat," tambahnya.
Karina juga berharap, PLN ke depan bisa meningkatkan penggunaan pemakaian listrik tenaga air dalam memasok industri. Dengan demikian, jejak karbon industri juga bisa berkurang.
Asal tahu saja, saat ini Coca-Cola Amatil sudah mengadopsi teknologi ramah lingkungan yang canggih, lebih bersih, efisien dan terjangkau. Ini ditunjukkan lewat pemasangan salah satu atap panel surya terbesar di pabrik Cikarang Barat.
Memiliki luas 72.000 meter persegi, atap panel surya tersebut mampu menghasilkan 9,6 juta kwh energi bersih dan mengurangi 8,9 juta kilogram emisi karbon per tahun. Ke depan, perusahaan ini akan memperluas penggunaan atap panel surya pada pabrik di Medan, Semarang dan Surabaya.
Wakil Direktur Utama PLN Persero Darmawan Prasodjo menyebutkan, berapa tantangan EBT yakni harus ada program pemerintah, fit in tarif yang artinya ada subsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Apalagi ke depan, renewable energy tidak bisa dianggap sebagai beban melainkan bisa untuk berkompetisi baik secara teknologi, komersial, hingga menawarkan harga yang lebih murah dari bahan bakar fosil.
"Intinya ke depan dalam menghadapi perubahan iklim, PLN tidak bisa menjalani sendirian. Jadi, transisi ke low carbon ekonomi adalah keharusan dan bagaimana bisa berjalan dengan lancar menjadi tugas kita bersama," ungkapnya.
Darwan menambahkan, ke depan PLN akan terus bertransformasi dan terus melakukan pembenahan internal untuk bisa menciptakan green energy dan sistem yang mampu dan menangani EBT.
Baca Juga: Pertamina memulai program pengembangan EBT
Data dari Dewan Energi Nasional per semester I-2020 menunjukkan bahwa peran energi fosil di Indonesia, yaitu jenis batubara dan minyak bumi, masih amat dominan sebesar 69,74% (batubara 35,36% dan minyak bumi 34,38%). Gas bumi, kendati termasuk jenis energi fosil, dipandang lebih bersih ketimbang batubara dan minyak bumi.
Di satu sisi, potensi dan sumber daya sumber energi terbarukan terbilang melimpah. Tenaga surya adalah potensi paling melimpah di Nusantara sebesar 207.800 megawatt (MW). Disusul kemudian potensi hidro 75.000 MW; bayu atau angin 60.600 MW; bioenergi 32.600 MW; panas bumi 23.900 MW; dan samudera (arus laut) 17.900 MW. Sayangnya, potensi sebesar itu baru termanfaatkan sebesar 10.400 MW atau sekitar 2,5% saja.
Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo, mewakili Indonesia, telah menandatangani Persetujuan Paris 2015. Target dari kesepakatan tersebut adalah menjaga kenaikan temperatur global tidak melebihi 2 derajat celcius dan mengupayakannya menjadi 1,5 derajat celcius. Indonesia menindaklanjuti dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim.
Dengan kemampuan sendiri, Indonesia berambisi menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dan sebesar 41% apabila didukung dunia internasional pada 2030.
Sekitar dua pertiga dari emisi gas rumah kaca global yang menyebabkan perubahan iklim dapat dikaitkan dengan pasokan (supply) dan penggunaan (use) energi bahan bakar fosil. Untuk memenuhi tujuan-tujuan yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris dan menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat, intensitas emisi karbon dioksida (CO2) ekonomi global perlu dikurangi hingga 85% dalam 35 tahun. Itu berarti, mengurangi emisi CO2 dari sektor energi rata-rata sebesar 2,6% per tahun, atau 0,6 gigaton (Gt) per tahun secara absolut.
Sementara itu, perangkat aturan yang mendukung pencegahan perubahan iklim di Indonesia salah satunya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Aturan ini menetapkan bauran energi primer pada 2025 yang terdiri dari batubara sebesar 30%, energi baru dan terbarukan 23%, minyak bumi 25% dan gas bumi 22%.
Adapun target bauran di 2050 adalah batubara turun menjadi 25%, energi baru dan terbarukan naik menjadi 31%, minyak bumi turun menjadi 20%, dan gas bumi naik menjadi 24%. Sedangkan status sampai akhir 2020 lalu, bauran energi baru dan terbarukan masih di 10,9%.
Selanjutnya: Biaya di sektor hulu menjadi tantangan pengembangan panas bumi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News