Reporter: Filemon Agung | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan kebutuhan energi di Asia Tenggara (Asean) masih didominasi batubara dengan porsi mencapai 31,4%.
Untuk itu, Arifin memastikan perlu ada pemetaan dari setiap negara dalam menekan laju perubahan iklim di negara masing-masing.
"Proses transisi energi menuju energi bersih harus direncanakan berdasarkan kebutuhan negara masing-masing. Apalagi kita memiliki kepentingan dan tujuan bersama untuk memerangi perubahan iklim, kita perlu membuat perubahan penting terkait kebijakan keamanan ekonomi dan energi di kawasan seperti ASEAN," kata Arifin saat memberikan pandangan pada acara Asia Clean Energy Summit (ACES) 2021 di Singapura, Selasa (26/10).
ASEAN sendiri memiliki target regional mencapai 23% bauran EBT dalam Total Primary Energy Supply (TPES) di tahun 2025 dimana sejak tahun 2019 kapasitas pembangkit listrik terpasang yang baru sebagian besar berasal dari air dan Solar PV. Kendati begitu, Arifin menyoroti pemanfaatan energi fosil yang masih menjadi penopang sumber energi.
Baca Juga: Pemerintah Indonesia siap dukung program energy transition mechanism (ETM)
"Kawasan ASEAN dalam beberapa hal masih bergantung pada batu bara sebagai sumber energi yang menyumbang 31,4% dari kapasitas daya terpasang pada tahun 2020. Situasi ini harus dipertimbangkan dengan hati-hati ketika menetapkan jalan kita menuju netralitas karbon," Arifin menambahkan.
Arifin mengungkapkan, pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) sebagai jalan keluar mengimplementasikan transisi energi harus tetap mempertimbangkan kondisi perekonomian domestik, daya saing pasar, hingga kemampuan industri.
Sebagai kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tercepat, sambung Arifin, permintaan listrik di ASEAN naik 6% setiap tahun dalam 20 tahun terakhir berdasarkan laporan Electricity Market dari International Energy Agency (IEA) pada bulan Desember 2020. "Kebutuhan energi (ASEAN) akan meningkat selaras dengan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat dari membaiknya efek pandemi," ungkapnya.
Guna mempercepat proses transisi energi dan netralitas karbon di tahun 2060, Arifin menyampaikan kebijakan energi yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia. Diantaranya, pengembangan EBT secara masif (termasuk Solar PV, Angin, Biomassa, Panas Bumi, hingga Sistem Penyimpanan Energi Baterai (BESS), pembangunan interkoneksi transmisi dan smart grid, pengembangan kendaraan listrik, serta mengurangi pemanfaatan sumber daya energi fosil.
Baca Juga: Merek mobil China siap bawa kendaraan listrik ke pasar Indonesia pada 2022
"Prinsip Availability, Accessibility, Affordability, Acceptability, Sustainability & Competitiveness harus diperhatikan dalam (menjalankan) proses transisi energi," terang Arifin.
Arifin melanjutkan, energi surya bisa memenuhi prinsip -prinsip tersebut meski isu interminten masih menjadi tantangan tersendiri. Apalagi, berdasarkan data IRENA, biaya pembangkitan listrik dari PLTS mengalami penurunan sebesar 82% selama 2010-2019.
Selanjutnya: Kementerian ESDM bantah kecolongan ekspor nikel di awal 2020
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News