kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.504.000   5.000   0,33%
  • USD/IDR 15.935   0,00   0,00%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Begini Hitungan Pengamat Soal Harga BBM Subsidi Dibanding Nilai Keekonomiannya


Senin, 29 Agustus 2022 / 18:51 WIB
Begini Hitungan Pengamat Soal Harga BBM Subsidi Dibanding Nilai Keekonomiannya
ILUSTRASI. Sejumlah pengamat memberikan penilaian terhadap harga keekonomian BBM subsidi yang disampaikan pemerintah. KONTAN/Baihaki/29/8/2022


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah pengamat memberikan penilaian terhadap harga keekonomian BBM subsidi yang disampaikan pemerintah.  Menurut pengamat, harga keekonomian BBM subsidi yang dipaparkan pemerintah terlalu tinggi.

Asal tahu saja, sebelumnya Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM menyampaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis solar dan pertalite saat ini  jauh dari harga keekonomian atau harga yang seharusnya. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, jika menggunakan asumsi ICP saat ini yang senilai US$ 105 per barel dan kurs rupiah Rp 14.700 per dolar AS, maka harga solar seharusnya di Rp 13.950 per liter. Sedangkan, untuk Pertalite harga keekonomiannya Rp 14.450 per liter.

Baca Juga: Pemerintah Kucurkan Bansos Rp 24,17 Triliun, Ini Sumber Anggarannya Menurut Kemenkeu

Sementara itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebutkan bahwa harga keekonomian Pertalite di Rp 17.200 per liter dan solar Rp 17.600 per liter.  

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai, harga keekonomian yang disampaikan oleh Kementerian Keuangan terlalu tinggi .

Menurut paparan Kementerian Keuangan, outlook harga minyak internasional (Brent) 2022 sampai dengan akhir tahun yang diterbitkan oleh EIA menunjukan harga minyak di US$ 104,8 per barel dan berdasarkan forecast konsensus harga minyak bahkan mencapai US$ 105 per barel pada Agustus 2022. 

“Sedangkan pada bulan ini tren harga minyak mentah brent sudah di bawah US$ 100 dolar per barel sehingga harga keekonomian yang disampaikan pemerintah terlalu tinggi,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Senin (29/8). 

Jika harga keekonomian berubah, otomatis asumsinya beban subsidi akan bertambah besar. 

Perihal penyesuaian harga BBM Subsidi, menurut Tauhid, jika harga BBM sampai naik hingga di atas Rp 10.000 per liter, maka dapat berdampak pada kenaikan inflasi hingga di atas 7%-8% karena multiplier harga BBM ke beberapa produk tinggi. 

Jika ada penyesuaian harga BBM, Tauhid mengatakan harus dilakukan secara bertahap sambil melihat kondisi pergerakan harga minyak dunia. 
“Idealnya kenaikannya harus bertahap, misalnya 5% dahulu, nanti harga minyak turun tidak,” ujarnya. 

Menurutnya, strategi menaikkan harga BBM subisidi bertahap ini agar ada penyesuaian kemampuan daya beli sehingga masyarakat bisa menahan beban harga. 

Di sisi lain, kalaupun ada bantuan dari pemerintah yang besarannya di kisaran Rp 300.000 hingga Rp 400.000 per bulan, tentu harus disesuaikan dan adil dengan inflasi yang meningkat. 

Baca Juga: Tanda Harga Pertalite Akan Naik, Berbagai Bansos Ini Akan Disalurkan, Cek Penerimanya

Tauhid juga mencermati perihal pembatasan penyaluran BBM Subsidi kepada yang benar-benar membutuhkan. 

Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) menjelaskan Indonesia sekarang adalah negara net importer minyak mentah. Artinya,minyak milik pemerintah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga perlu impor. 

“Dengan harga minyak mentah yang cukup tinggi saat ini, maka harga pengadaan BBM juga menjadi tinggi,” jelasnya. 

Dampaknya ialah, kebutuhan seluruh BBM nonsubsidi (RON92 ke atas) dan BBM industri dipenuhi dari impor. Harga BBM tersebut sudah mengikuti harga keekonomian. Artinya, tidak ada subsidi.

Anthony memberikan gambaran perhitungan yang rinci mulai dari pendapatan negara, kebutuhan BBM subsidi, hingga hitungan subsidinya. 

Realisasi produksi minyak mentah Indonesia semester I 2022 sekitar 611.000 barel per hari. Kalau produksi semester dua sama besar, maka produksi minyak mentah Indonesia tahun 2022 akan mencapai 223 juta barel (611.000 barel x 365 hari), atau sekitar 35,5 miliar liter.

Minyak mentah tersebut diproduksi oleh mitra kontraktor minyak dengan pola bagi hasil, production  sharing contract, PSC. Perhitungan bagi hasil sebelumnya berdasarkan hasil bersih setelah dikurangi seluruh biaya produksi (cost recovery). 

Sedangkan bagi hasil sekarang berdasarkan gross split. Untuk minyak bumi, 57% pemerintah, 43% mitra kontraktor. Untuk gas bumi, 52% pemerintah, 48% mitra kontraktor.

“Artinya, Indonesia akan mendapat minyak mentah sebanyak 20,3 miliar liter, yaitu 57% dari total produksi 35,5 miliar liter untuk tahun 2022,” jelasnya. 

Lantas berapa harga produksi minyak mentah Indonesia ? Anthony menjawab, nol rupiah karena sudah dibayar dengan bagi hasil 43%.

Jadi, artinya, biaya produksi BBM Indonesia hanya biaya proses kilang, rata-rata 5 dolar per barel (untuk kilang lama), atau hanya Rp472 per liter (5 dolar x Rp15.000 : 159 liter).

Harga jual pertalite Rp 7.600 per liter, termasuk biaya distribusi, marjin keuntungan, dan pajak (PBBKB dan PPN). Anggap saja total biaya tersebut Rp 1.600 per liter. Artinya, pendapatan bersih pemerintah dari penjualan pertalite adalah Rp 6.000 per liter, dengan harga pokok produksi hanya Rp 472 per liter.

Anthony menjelaskan, minyak milik pemerintah diproses untuk pertalite dan biosolar bersubsidi, dijual dengan harga Rp 7.600 dan Rp 5.150 per liter, atau, setelah dikurangi biaya distribusi, marjin keuntungan dan pajak, tinggal Rp 6.000 dan Rp 4.000 per liter. Dikurangi biaya kilang Rp 472 per liter (dibulatkan menjadi Rp500), maka pendapatan negara, bersih, menjadi Rp 5.500 dan Rp 3.500 per liter. 

Selanjutnya, kebutuhan biosolar bersubsidi (yang sebenarnya tidak ada subsidi) sekitar 10 miliar liter (10 juta KL). Dari penjualan biosolar, diperoleh pendapatan negara, bersih senilai Rp 35 triliun (Rp3.500 x 10 miliar liter).

Sisa minyak pemerintah, setelah dialokasikan untuk biosolar, tinggal 10,3 miliar liter, dialokasikan untuk pertalite. Pendapatan negara, bersih, dari pertalite menjadi Rp 56,65 triliun (Rp 5.500 x 10,3 miliar liter). 

Sehingga total pendapatan bersih negara dari kekayaan alam Indonesia, milik rakyat Indonesia, mencapai Rp 91,65 triliun (Rp35 triliun + Rp56,65 triliun).

Adapun kebutuhan pertalite dan biosolar domestik sangat besar, masing-masing sekitar 22 miliar liter dan 10 miliar liter. Sedangkan minyak mentah milik pemerintah hanya 20,3 miliar liter, untuk memenuhi sebagian kebutuhan pertalite, 10,3 miliar liter, dan seluruh kebutuhan biosolar 10 miliar liter (100 persen). Sehingga ada selisih 11,7 miliar liter kebutuhan pertalite yang harus dipenuhi dari impor. 

Dengan tingkat harga minyak mentah yang tinggi saat ini, biaya produksi BBM (harga keekonomian) kemungkinan besar lebih tinggi dari harga jual yang ditetapkan pemerintah yaitu Rp 7.600 (termasuk biaya distribusi, marjin keuntungan dan pajak). Pertamina akan rugi kalau tidak dibantu dengan subsidi oleh pemerintah.

“Kalau subsidi rata-rata Rp 5.000 per liter maka total subsidi hanya mencapai Rp 58,5 triliun (11,7 miliar liter x Rp 5.000 per liter). Sehingga, secara total, neraca keuangan minyak bumi Indonesia masih surplus Rp 33,15 triliun (Rp 91,65 triliun - Rp58,50 triliun),” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×