Reporter: Muhammad Julian | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai bahwa penghentian operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Suralaya bukan solusi tepat untuk mengatasi permasalahan polusi di DKI Jakarta di tengah perhelatan KTT ASEAN.
Hal ini lantaran beberapa alasan. Pertama, PLTU Suralaya diklaim telah dipasangi teknologi ESP dan scrubber atau pembersih polusi, serta memiliki baku mutu di bawah ambang batas yang ditentukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dus, dengan asumsi bahwa klaim-klaim tersebut benar, kebijakan mematikan PLTU Suralaya tidak efektif untuk menangani isu polusi DKI Jakarta.
Terlebih di sepanjang bulan April-Oktober ini, angin yang bertiup dari arah timur ataupun tenggara DKI Jakarta, sehingga polusi yang sampai ke Jakarta berasal dari arah tersebut.
“Jadi, polusi yang ada di langit Jakarta itu berasal dari industri dan pembangkit listrik yang ada di barat Jakarta, jadi itu dari Jawa Tengah, dari daerah Bekasi, Cikarang, kemudian mungkin Bogor yang radius 100 km,” ujar Fabby kepada Kontan.co.id (5/9).
Baca Juga: Begini Tanggapan Pengusaha Terkait Dipadamkannya Sebagian Unit PLTU Suralaya
Oleh karenanya, Fabby menduga tindakan pemerintah mematikan sebagian unit PLTU Suralaya hanya berupa gimmick semata di tengah perhelatan KTT ASEAN. Fabby sendiri menduga bahwa penghentian operasional sebagian unit PLTU Suralaya hanya dilakukan sementara dan akan kembali dioperasikan begitu KTT ASEAN selesai.
Kendati demikian, Fabby menilai bahwa PLTU Suralaya memang sudah layak untuk dipensiunkan secara permanen sebelum tahun 2030. Menurutnya, hal ini tidak akan serta merta mengganggu keseimbangan pasokan dan permintaan listrik.
Sebab, menurut Fabby, terdapat banyak potensi energi terbarukan yang bisa dimaksimalkan di Jawa Bagian Barat dari sumber-sumber energi terbarukan seperti biomassa maupun surya.
“Dalam RUPTL PLN kan udah ada tulis pembangkit yang bisa dikembangkan, itu aja dieksekusi, termasuk yang floating PV di Jawa Barat, kan ada beberapa ya, dan itu kan masih bisa ditambah,” terang Fabby.
Seperti diketahui, PLTU Suralaya terdiri atas 7 unit pembangkit dengan total daya terpasang sebesar 3.400 megawatt (MW). PLTU ini dimiliki oleh anak usaha PT PLN (Persero), yakni PT Indonesia Power. Lokasinya terletak di Cilegon, Banten.
Baca Juga: Pengamat Menilai Terlalu Terburu-buru Menuding PLTU Penyebab Polusi Udara Jakarta
Mengutip data Kementerian ESDM yang dikutip dari siaran pers NOMOR: 412.Pers/04/SJI/2023 terbit 4 September 2023, produksi listrik PLTU Suralaya berkontribusi sebesar 50% dari total produksi Indonesia Power serta menyumbang sekitar 18% kebutuhan energi listrik Jawa-Bali. Dengan transmisi sebesar 500 kV, pembangkit tersebut mengkonsumsi batubara kurang lebih 35.000 ton per hari.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memutuskan untuk mematikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Suralaya 1, 2, 3, dan 4. Menteri BUMN, Erick Thohir, mengatakan bahwa kebijakan tersebut dilakukan untuk menekan polusi udara.
“Tetapi data terakhir (menunjukkan hal ini) tidak mengurangi polusi ternyata, tetapi tetap kita matikan karena ini komitmen sama-sama menjaga polusi,” ungkapnya dalam Rapat Kerja bersama Komisi VI DPR RI (31/8).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News