kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45913,59   -9,90   -1.07%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Begini respon APSyFI soal langkah penertiban kebijakan PLB


Selasa, 15 Oktober 2019 / 20:11 WIB
Begini respon APSyFI soal langkah penertiban kebijakan PLB
ILUSTRASI. Pekerja memproduksi kaos di industri konveksi rumahan di Lesanpuro, Malang, Jawa Timur, Selasa (17/9/2019).


Reporter: Muhammad Julian | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pemerintah baru saja melakukan pemblokiran terhadap sebanyak 96 importir di Pusat Logistik Berikat (PLB) dan non-PLB lantaran terindikasi melakukan pelanggaran aturan kepabeanan dan cukai, serta tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPT).(14/10). 

Adapun beberapa bentuk pelanggaran yang dimaksud di antaranya seperti pemberian informasi yang tidak tepat mengenai rincian jumlah, jenis, dan harga barang, penyalahgunaan peruntukan impor bahan baku, dan sebagainya.

Baca Juga: Pemain tekstil berharap pemerintah tidak hanya fokus di PLB

Berdasarkan temuan tersebut, Pemerintah berencana meningkatkan kegiatan pengawasan dan penindakan serta merevisi Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang PLB guna menghilangkan praktik-praktik impor yang menyalahi ketentuan kepanenan dan cukai.

Langkah tersebut mendapatkan tanggapan yang positif dari pelaku industri tekstil dalam negeri. Menurut Asosaisi Serat Benang dan Filamen Indonesia (APSyFI), 

“Harapan kita adalah momen ini adalah starting point untuk merevitalsisai industri secara keseluruhan,”  ujar Executive Member APSyFI, Prama Yudha Amdan kepada Kontan.co.id.

Menurut Prama, sebelumnya pelaku industri tekstil kerap kewalahan dalam menghadapi importasi tekstil yang masuk ke dalam negeri. Prama menegaskan bahwa pada prinsipnya APSyFI tidak memiliki pandangan antiimpor selama importasi tekstil yang masuk memang belum diproduksi ataupun masih diperlukan lantaran pasokan domestik belum bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri yang ada.

Namun demikian, pada praktiknya, importasi tekstil yang masuk ke Indonesia seringkali terdiri atas barang-barang tekstil yang sebenarnya sudah diproduksi di dalam negeri dan tidak dibutuhkan sehingga menyebabkan terjadinya kanibalisme produk. 

Baca Juga: Impor Tekstil diperketat, Ini Poin-poin yang Diatur Ulang Oleh Sri Mulyani premium

Hal ini diduga disebabkan oleh adanya pelanggaran-pelanggaran aturan bea dan cukai seperti pemberian informasi barang impor yang tidak sesuai, penyalahgunaan barang bahan baku untuk dijual, dan sebagainya.

Namun demikian, Prama menilai bahwa langkah yang diambil oleh pemerintah sudah tepat dan mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan di atas apabila diimplementasikan dengan baik. Menurit Prama, hasil dari penerapan langkah-langkah tersebut akan mulai bisa dirasakan manfaatnya setelah satu hingga dua bulan setelah diimplementasikan.

Meski begitu, Prama menilai pemerintah masih memiliki ‘pekerjaan rumah’ untuk meningkatkan daya saing industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri. Pasalnya, beberapa kondisi yang ada dinilai masih menghambat industri hulu untuk meningkatkan daya saing

Dalam hal biaya energi misalnya. APSyFI menilai bahwa biaya energi sebesar US$ 9,16 - US$ 12 /MMBTU dinilai terlalu mahal dan membuat harga tekstil menjadi kurang bersaing. Pasalnya, biaya energi memiliki porsi yang cukup besar dalam biaya produksi industri TPT hulu, yakni sekitar 20%-25%. Oleh karenanya, APSyFI mengusulkan agar harga gas berada di kisaran US$ 6 - US$ 8 /Kwh.

Baca Juga: Sri Mulyani blokir 325 importir nakal, lima di antaranya dicabut izinnya

Selain itu, APSyFi juga mengusulkan agar ketentuan jam kerja yang ada juga didasarkan pada aspek produktivitas. Dengan demikian, pekerja yang terpaksa bekerja di luar jam kerja lantaran belum memenuhi jumlah produksi harian yang telah disepakati dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tidak akan dihitung sebagai lembur.

Sementara itu, ketentuan lembur yang berlaku saat ini mengharuskan pengusaha untuk memperhitungkan pekerjaan yang dilakukan di luar jam kerja sebagai kerja lembur. Hal ini dinilai membuat pelaku industri tekstil menjadi harus mengeluarkan biaya lebih besar dalam kegiatan produksi dibanding yang seharusnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×