kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Begini tantangan penambahan kapasitas pembangkit berbasis energi bersih di Indonesia


Kamis, 24 September 2020 / 21:58 WIB
Begini tantangan penambahan kapasitas pembangkit berbasis energi bersih di Indonesia
ILUSTRASI. Menteri ESDM Arifin Tasrif. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/ama.


Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berkomitmen mendorong pengembangan pembangkit berbasis energi bersih dalam penyediaan energi nasional ke depan.

Rencananya, pemerintah akan menambahkan 16,7 gigawatt (GW) pembangkit berbasis energi bersih dalam kurun waktu 10 tahun sesuai dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara 2019 - 2028.

"Ada beberapa tantangan pengembangan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) ini,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam siaran pers di situs Kementerian ESDM, Kamis (24/9).

Menurut Arifin, tantangan pertama adalah keekonomian EBT yang dinilai masih belum kompetitif dibandingkan dengan harga pembangkit berbahan bakar fosil. Dalam hal ini, harga EBT masih relatif lebih mahal dibandingkan pembangkit konvensional.

Kedua, sifat pembangkit yang intermittent, seperti PLT Surya dan PLT Bayu sehingga memerlukan kesiapan sistem untuk menjaga keberlanjutan pasokan tenaga listrik.

Sebaliknya, pembangkit EBT yang least cost (ongkos rendah) dan faktor kapasitasnya bagus, seperti PLT Air, PLT Minihidro, dan PLT Panas Bumi, umumnya terletak di daerah konservasi yang jauh dari pusat beban, sehingga membutuhkan waktu relatif lama dalam pembangunan, mulai dari perizinan, kendala geografis, hingga keadaan kahar (longsor).

Baca Juga: Tiga tahun GNSSA, diharapkan kapasitas PLTS atap di Indonesia tembus orde gigawatt

Terakhir, Arifin menyampaikan, untuk bioenergy berupa pengembangan pembangkit biomassa maupun biogas memerlukan jaminan pasokan feedstock selama masa operasinya.

Ia meyakini Indonesia sebagai negara tropis sangat cocok dan punya potensi besar dalam mengembangkan EBT, terutama dari pemanfaatan energi matahari. Ini mengingat penyinaran energi surya tersebut di Indonesia lebih panjang dibandingkan negara lainnya. "Sangat bisa (mengandalkan energi surya), karena negara tropis. Penyinaran matahari lebih panjang dari negara lain," jelas Arifin

Di samping itu, Arifin tak menampik bahwa porsi batubara dalam pemenuhan kebutuhan bauran pembangkit listrik masih tinggi. "Realisasi bauran energi untuk tenaga listrik hingga Juni 2020 masih didominasi oleh batubara," ungkapnya.

Meski begitu, bauran pembangkit EBT terus mengalami peningkatan bahkan melebihi target yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2020. Pergerakan signifikan ditunjukkan oleh bauran dari pembangkit berbasis air dan panas bumi.

Untuk pembangkit panas bumi telah mencapai 5,84% atau 2.131 gigawatt hour (GWh) dari target 4,94% (14,77 GWh). Sementara realisasi air mencapai 8,04% atau 6.857 GWh dari target 6,23% (18,63 GWh). Sementara untuk EBT lainnya realisasinya mencapai 3,24 GWh atau 0,29%, melebihi dari target yang ditetapkan, yakni 1,01 GWh.

Lebih lanjut, serapan bauran pembangkit gas mencapai 17,81% atau setara 175.119 British Billion Thermal Unit (BBTU), sedangkan serapan bauran pembangkit Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Bahan Bakar Nabati (BBN) mencapai 3,75% dengan rincian volume 0,86 juta kiloliter untuk BBM dan 0,29 juta kiloliter untuk BBN. "Total realisasi produksi listrik sebesar 133.216 GWh," pungkas Arifin.

Selanjutnya: Komitmen pemerintah untuk penggunaan energi terbarukan didukung kalangan industri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×