kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,02   -8,28   -0.91%
  • EMAS1.318.000 0,61%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Beragam komentar dari IPA dan pengamat soal fleksibilitas kontrak migas


Minggu, 01 Desember 2019 / 21:50 WIB
Beragam komentar dari IPA dan pengamat soal fleksibilitas kontrak migas
ILUSTRASI. Beragam komentar dari IPA dan pengamat soal fleksibilitas kontrak migas. ANTARA FOTO/Irfan Anshori/foc.


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali mempertimbangkan hadirnya kontrak bagi hasil penggantian biaya operasi (cost recovery) bagi wilayah kerja baru dan terminasi. Skema cost recovery tersebut akan menjadi opsi bersama sistem fiskal gross split bagi para investor migas.

Indonesia Petroleum Association (IPA) pun memberikan komentar atas rencana tersebut. Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong mengatakan, IPA mendukung upaya pemerintah untuk membahas skema yang bisa membuat iklim investasi migas di tanah air menjadi lebih menarik.

Baca Juga: Begini kesiapan sejumlah perusahaan migas hadapi 2020

Namun, untuk sampai pada kesimpulan apakah fleksibilitas skema kontrak ini akan mendorong investasi atau tidak, Marjolijn mengatakan bahwa investor akan terlebih dulu melihat detail kebijakan yang sedang disiapkan.

"Tentunya kita harus melihat detail dari keputusan pemerintah, semoga business arrangement nya bagus sehingga menjadi menarik. Saya kira pemerintah masih mengkaji hal flexibilitas itu, jadi kita tunggu saja," ungkap Marjolijn saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (1/12).

Sementara itu, Direktur IPA Nanang Abdul Manaf berpendapat, fleksibilitas kontrak bisa mendapat sambutan positif dari pelaku industri. "Karena tentunya investor punya beberapa pilihan yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi tertentu," kata Nanang

Baca Juga: Catatkan 86.000 boepd di paruh pertama 2019, Medco E&P terus dorong produksi migas

Nanang mengatakan, setiap wilayah kerja migas memiliki karakteristik dan risiko yang berbeda. Sehingga, ada wilayah kerja yang cocok menggunakan skema gross split, namun ada juga yang lebih cocok memakai cost recovery.

"Setiap wilayah memiliki karakteristik yang berbeda, termasuk juga evaluasi keekonomiannya," terang Nanang.

Dihubungi terpisah, Pengamat Ekonomi Energy Fahmy Radhi menilai, kepastian mengenai rezim kontrak ini akan menjadi penentu bagi investasi sektor hulu migas di tahun depan.

Baca Juga: Bos Medco Energi Hilmi Panigoro buka suara soal opsi cost recovery atau gross split

Menurutnya, rezim kontrak akan menjadi faktor penentu minat investor, selain dari jumlah cadangan migas yang dimiliki serta kemudahan perizinan.

Menurut Fahmy, sejak adanya perubahan rezim skema kontrak dari cost recovery menjadi gross split, semestinya ada masa transisi agar investor bisa memilih skema mana yang sesuai untuk diterapkan di wilayah kerja yang akan dikelola.

Menurutnya, ketika pemerintah memberikan skema kontrak baru, investor perlu diberikan ruang untuk memilih agar proses bisnis bisa lebih adil.

Baca Juga: Fleksibilitas kontrak migas tengah dikaji, pemerintah akan tampung masukan investor

"Sehingga kalau sekarang akan dibuka kembali untuk memilih, saya kira itu lebih baik, minimla ada masa transisi. Keleluasaan investor untuk memilih cost recovery atau gross split saya kira lebih fair," kata Fahmy.

Hanya saja, jika skema Production Sharing Contract (PSC) di cost recovery akan diberlakukan lagi, Fahmy menyoroti perlunya sistem pengawasan yang lebih ketat, guna mengantisipasi tindakan yang koruptif.

"Karena dalam cost recovery biaya investasi dan operasi akan diganti oleh negara pada saat (perusahaan) memperoleh minyak. Sering kali terjadi anomali cost recovery naik, padahal produksi turun. Ada potensi moral hazard, jadi fungsi monitoring perlu lebih ketat," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×