kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bertahun Tahun Cuma Jual Gabah, Kluster Tani Rorotan Kini Belajar Jadi Juragan Beras


Selasa, 15 Februari 2022 / 22:32 WIB
Bertahun Tahun Cuma Jual Gabah, Kluster Tani Rorotan Kini Belajar Jadi Juragan Beras
ILUSTRASI. Abas dan Asmat petani Rorotan Jakut


Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara masih terlihat asri. Hamparan persawahan yang mengelilingi pinggiran Jakarta itu terlihat hijau. Air irigasi yang jernih menandakan kawasan Rorotan merupakan daerah yang subur.

Meski dipadati beberapa pabrik dengan truk tronton yang hilir mudik. Daerah Rorotan masih seperti desa kebanyakan. Siang itu terlihat ramai, sepanjang jalan ruko dan pedagang kaki lima terpantau. Ada juga area pemancingan di dekat persawahan.

Menurut cerita para petani, luas sawah yang digarap dulu jumlahya berhektare-hektare. Namun, karena pemilik lahan sudah membangun beberapa properti, luas lahan persawahan menyempit. Apalagi saat Covid-19 merebak, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun kuburan massal di sana.

"Hampir 60 hektare untuk kuburan massal Covid-19," kata Surojudin Abas (44) kepada Kontan.co.id, akhir pekan lalu.

Sirojudin Abas adalah seorang petani turun temurun, ayahnya meninggalkan sawah untuk digarapnya. Setiap hari Abas bertani dan beternak dan juga sebagai Kepala Kelompok Tani. Ia mengatakan, saat ini sisa lahan yang digarap petani di kawasan Rorotan hanya tinggal 360 hektare (ha).

Lahan ini bukan milik warga sekitar, melainkan milik Pemprov DKI, Jakarta Propertindo, dan pengembang properti swasta. “Saya punya kelompok tani bernama Gapoktan, ada sekitar 50 petani,” tambahnya.

Dikatakannya, saat ini yang paling sulit adalah mencari buruh tani, meski harga buruh tani secara borongan terus meningkat, harga gabah masih stagnan saat panen dua kali setahun. “Selama ini ada anggota yang pinjam ke bandar dan rentenir, akhirnya tidak habis-habis. Begitu seterusnya,” ujarnya.

Menurutnya, di Rorotan terdapat 9 kelompok tani dengan jumlah sekitar 200-300 petani. Saat ini Bank BRI telah menawarkan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) agar petani tidak lagi terjebak oleh rentenir. “Kami fokus berbisnis sekarang, kami sudah punya BRI untuk permodalan,” jelasnya.

Abas menjelaskan, pihaknya sudah lama berjualan beras, namun sejak adanya Bank BRI dengan membuat klaster tani di kawasan Rorotan menjadi momentum yang tepat untuk memajukan petani. “Ini beras kemasan baru untuk tahun 2021,” jelasnya.

Abas menyatakan dengan membuat kemasan beras yang baik, penjualan akan meningkat karena tidak lagi menjual gabah ke tengkulak.

Diterangkannya, petani biasanya meminjam KUR di kisaran Rp 6 juta menjadi Rp 12 juta. “Jadi kita bayar 6 bulan setelah panen,” jelasnya.

Pada 2021, pinjaman akan dimulai sesuai pola panen. Saat ini sudah tiga kali panen dengan pinjaman KUR dan sudah bisa lunas. Bukan saja KUR, BRI Unit Rorotan untuk membuka pasar kepada para petani agar bisa menjual beras yang sudah dikemas tersebut.

"Kami tidak lagi jual gabah, kami jual beras dengan kemasan bagus," ucap dia.

Ia  bercerita, untuk mendapatkan beras berkualitas, perlakuan saat menanam padi mesti sesuai standar, misalnya dalam pemberian pupuk, pengukuran keasaman tanah, pasca panen petani juga harus selektif.

Kemudian, saat ini petani mengurangi pemupukan dengan bahan kimia. “Daerah kami endemis hama atau penyakit. Maka kami ganti dengan pupuk organik,” jelasnya.

Abas mengatakan, saat ini sudah ada pupuk organik dan kemasan yang lebih sederhana. "Bukan pupuk kandang," katanya.

Dengan menggunakan pupuk organik hasilnya bagus. "Kalau panen dua kali setahun. Panen tiga kali di tempat kami sulit, tapi tergantung benih padinya kualitas apa," katanya.

Ia menjelaskan, benih Cakrabuana berumur 85 hari untuk dipanen. “Disini sawahnya semi tadah hujan. Sebagian tadah hujan dan irigasi,” jelasnya.

Abas mengatakan rata-rata panen padi mencapai 7-8 ton per hektare. “Untuk satu petani, ada yang menggarap lahan 1 hektare hingga 3 hektare. Jadi berbeda,” tambahnya.

Dia menjelaskan, biaya produksi padi tidak murah karena untuk memanen 6 ton per hektare dengan biaya tenaga kerja tani 1 hektare. Belum, harga mesin perontok padi Rp. 1,3 juta. “Misalnya dapat 5 ton dapatnya itu Rp 20 juta, bersihnya paling ke petani sekitar Rp 10 juta sampai Rp 15 juta,” jelasnya.

Asmat (62), Petani yang juga mendapat warisan sawah dari orang tuanya menjelaskan, biaya produksi untuk bertani bisa mencapai Rp 7 juta per hektare.

Dengan biaya sebesar itu, kata dia, saat ini fokus petani adalah menekan biaya produksi yang tinggi di awal. “Saat ini kami sedang mengejar institusi terkait teknologi dengan mesin Mini Combine (mesin pemanen padi),” ujarnya.

Mesin ini menghemat biaya tenaga kerja pertanian untuk pemanenan. Biasanya untuk 1 hektare dibutuhkan 15 orang untuk panen, dengan mesin Mini Combine bisa diselesaikan hanya dalam waktu 4 jam. “Kalau pakai buruh tani bisa selesai dalam seminggu,” kata Asmat.

Asmat mengatakan, semakin buruk kualitas beras, semakin mahal ongkos produksinya. “Kami selama ini mendapat bantuan alat manual (memisahkan batang dari beras) dari BRI untuk menekan biaya produksi,” ujarnya.

Ia melanjutkan, dengan adanya kelompok tani yang dibuat, biaya produksi padi mulai dari tanam hingga panen bisa ditekan. Apalagi jika ada mesin Mini Combine, biaya yang dikeluarkan petani bisa ditekan lebih dari 50%. “Dengan kelompok, bukan hanya saya yang menggunakan mesin, tapi juga yang lain, bisa efesien nanti,” kata Asmat.

Lanjut Abas, dengan mesin ini hanya membutuhkan buruh untuk memanggul hasil panen. Saat ini pihaknya sudah meminta bantuan pengadaan mesin itu ke Kementerian Pertanian. "Kami juga sudah mengadakan pameran, pasarnya dibuka oleh BRI. Kami kelompok tani bisa menjual 1,5 kwintal," ungkap dia.

Heri Santoso Kepala Unit BRI Rorotan, Jakarta Utara mengatakan lahan yang digarap para petani tersebut memang bukan milik pribadi melainkan milik perusahaan swasta dan juga Pemerintah Daerah DKI Jakarta melalui Jakarta Propertindo, BUMD Jakarta.

Meski demikian, lahan pertanian tersebut sejauh ini belum digunakan sehingga bisa digunakan oleh para petani untuk menanam padi. "Ada sekitar 360 hektare di sana. Saya saja kaget ada lahan pertanian di Jakarta," kata dia kepada Kontan.co.id, Kamis (10/2).

Heri mengatakan, dengan jumlah pertani sebanyak itu kemudian BRI masuk bersama Badan Penyuluhan Pertanian Pemda DKI Jakarta. Dari hasil pertemuan dengan kelompok tani dan juga pihak Pemda DKI Jakarta, diketahui bahwa para petani selama ini belum menerapkan proses produksi yang bernilai tambah.

"Mereka begitu produksi gabah yang langsung jual ke tengkulak, begitu seterusnya. Kami datang untuk memberitahu bahwa gabah bisa dijadikan beras dan dikemas," kata Heri.

Tak berpikir panjang, Heri pun menjadi mentor para petani agar kehidupan petani di pinggiran Jakarta ini menjadi lebih sejahtera. Caranya dengan memberikan bantuan modal yang disesuaikan dengan pola musim panen.

"Kami berikan pinjaman dan bayarnya setelah panen. Jadi enam bulan mereka baru bayar karena panen setiap enam bulan," terang dia.

Bangun Agrowisata Rorotan

Asmat menjelaskan, saat ini pihaknya berencana membuat agrowisata. Kelompok tani ingin membuat kesepakatan dengan Pemerintah Daerah DKI mengenai status tanah tersebut. Pasalnya, lahan yang ada saat ini bukan milik pribadi, melainkan sebagian milik Pemprov DKI melalui Jakarta Propertindo.

“Sebagian 360 hektare ini ada Jakpro, Pemda DKI, pengembang, nah untuk Pemda DKI tolong bebaskan sebagian untuk tanah abadi. Sehingga ketika semua punah, petani membuat agrowisata, kami mohon dukungan dari DPRD,” kata Asmat.

Dikatakannya, saat ini respon dari Pemerintah Daerah dan DPRD sangat baik terhadap ide agrowisata tersebut. “Ini membantu perekonomian masyarakat,” jelasnya.

Abas mengatakan, saat ini masih perencanaan dan sudah ada anggaran sekitar Rp 100 juta untuk 2.000 meter persegi. Nanti akan ada restoran dan pemancingan. “Nanti masyarakat luas bisa datang ke sini,” ujarnya.

Asmat mengatakan nantinya akan ada 10 gubuk untuk tempat makan. "Jadi serasa makan di tengah sawah," terang dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×