Reporter: Rilanda Virasma | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bisnis skala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) masih tak bergairah. Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Indonesia (Akumindo) menyoroti, daya beli yang masih lemah juga sulitnya akses pembiayaan UMKM menjadi penyebabnya.
Indeks Bisnis UMKM pada kuartal III-2025 yang dirilis BRI Research Institute mengungkap, Indeks Bisnis UMKM melemah ke 101,9 pada kuartal III-2025 dari kuartal sebelumnya 103,7.
Hal ini dipengaruhi oleh normalisasi daya beli masyarakat yang masih lesu dan permintaan pasca Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) juga libur sekolah. Selain itu, naiknya harga barang input atau dagangan dan curah hujan yang tinggi di beberapa wilayah menyebabkan volume produksi/penjualan menurun, keuntungan usaha tergerus, dan ekspansi sektor pertambangan melambat.
“Persaingan yang semakin ketat dengan peritel modern dan online (perdagangan), kendaraan pribadi (motor) dan moda transportasi online (pengangkutan), serta cafe yang semakin menjamur (restoran/warung),” tambah tim survei BRI Research Institute dalam publikasinya, Selasa (11/11/2025).
Baca Juga: BP-AKR Bakal Borong 100.000 Barel Base Fuel, Pertamina Siap Penuhi Pasokan
Sekretaris Jenderal Akumindo, Edy Misero membenarkan, daya beli lesu masih menghantui bisnis UMKM hingga saat ini. Masyarakat menurutnya cenderung memprioritaskan barang kebutuhan primer ketimbang sekunder dan tersier.
“Kalau bisa enggak mengeluarkan duit, ya, lebih pilih enggak,” terang Eddy saat dihubungi Kontan, Senin (17/11/2025).
Selain itu, Eddy juga menyoroti sulitnya akses pembiayaan bagi para pelaku UMKM. Kendati banyak inisiatif-inisiatif yang dilakukan pemerintah untuk menggenjot bisnis UMKM, Eddy melihat realisasinya masih menemui sejumlah hambatan.
Salah satunya ialah realita di lapangan akan akses kredit usaha rakyat (KUR) yang menurutnya masih tak sesuai dengan program yang dicanangkan.
Dia mencontohkan, masih banyak perbankan yang meminta jaminan kepada mereka yang mengajukan pembiayaan di bawah Rp 100 juta. Padahal, jaminan tersebut baru berlaku bagi debitur yang mengajukan pinjaman di atas Rp 100 juta.
“Peraturannya ada, tetapi tidak mau dilaksanakan oleh pemerintah sendiri dalam hal ini himbara misalnya, bank pemerintah,” keluhnya.
Dus, dia menyerukan, sebaiknya akses pembiayaan UMKM ini dipermudah dan dilakukan sesuai aturan pemerintah. “Peraturannya sudah jelas, kenapa tidak diberlakukan? Berlakukanlah,” pintanya.
Dengan kondisi ini, Eddy melihat, bisnis UMKM yang mengandalkan barang-barang sekunder dan tersier cenderung paling tertekan.
Para pelaku UMKM saat ini tengah dalam “surivival mode” atawa mode bertahan. Salah satu langkah yang dilakukan ialah dengan mendiversifikasi usaha dan platform pemasaran bisnisnya dengan beralih secara daring.
“Pelaku UMKM yang mau tetap bertahan harus masuk di era berdagang yang baru secara online. Itu strategi yang sudah menjadi keharusan bagi pelaku-pelaku UMKM,” katanya.
Meski begitu, hingga akhir tahun, Akumindo optimistis bisnis UMKM akan kembali bangkit.
Terlebih, secara historis, momentum Hari Raya Natal dan penyambutan tahun baru kerap memantik gairah beli masyarakat. “Jadi pasti akan meningkat untuk akhir tahun ini,” pungkasnya optmistis.
Baca Juga: Perdana Gapuraprima (GPRA) Catat Penurunan Penjualan dan Laba pada Kuartal III-2025
Selanjutnya: Cetak Rekor! Realisasi KUR Tembus Rp 238 Triliun Sampai November 2025
Menarik Dibaca: 7 Penyebab Umum Asam Lambung Sering Kambuh, Apa Saja ya?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













