Reporter: Ramadhani Prihatini | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Pertumbuhan ekonomi yang lambat sepanjang tahun ini menyebabkan bisnis properti komersial, seperti perkantoran dan pusat belanja bergerak pelan. Malah, kecenderungannya stagnan.
Sekretaris Perusahaan PT Intiland Development Tbk (DILD) Theresia Rustandi menyatakan, bisnis perkantoran saat ini masih cenderung datar. Soalnya tingkat okupansi rata-rata sekitar 90%, masih belum ada kenaikan. "Secara umum pasar perkantoran masih flat," katanya kepada KONTAN, Rabu (2/11).
Bisnis perkantoran ini sejatinya masih menjadi salah satu penopang bisnis Intiland. Menurut Theresia, di kuartal III tahun ini, pendapatan perkantoran memberi kontribusi hingga 15% ke pendapatan pengembang ini.
Di periode tersebut, pendapatan Intiland tercatat mencapai Rp 1,65 triliun. Artinya, pendapatan dari sewa kantor berkontribusi Rp 247,5 miliar.
Hasil ini, kata Theresia, salah satunya berkat mengerek tarif sewa perkantoran milik Intiland, sebesar 20% pada tahun ini.
Nah, untuk tahun depan, Intiland masih belum menentukan besaran tarif sewa kantor. Termasuk proyeksi pendapatan perusahaan ini lantaran masih dalam tahap diskusi internal perusahaan.
Asal tahu saja, pengembang ini memang memiliki beberapa proyek perkantoran seperti Intiland Tower Jakarta dan Intiland Tower Surabaya.
Harus ekstra hati-hati
Berbeda dengan Intiland, Grup Ciputra lebih mengandalkan pusat belanja di proyek komersial, meskipun ada juga beberapa proyek perkantoran dari pengembang ini.
Menurut Harun Hajadi, Managing Director Grup Ciputra, pendapatan dari proyek komersial seperti pusat belanja di kuartal III tidak ada perubahan dari periode sebelumnya. Ia menyebutkan tingkat okupansi rata-rata pusat belanja di bawah Grup Ciputra sudah mencapai 98%.
"Ekonomi lagi kurang baik, maka pertumbuhan ritel jadi terbatas dan di kuartal III tahun ini tidak ada katalis yang berarti," katanya ke KONTAN.
Makanya, ia pesimistis bila menjelang akhir tahun ini, tingkat okupansi pusat belanja milik perusahaan ini bisa terdongkrak naik. Misalnya sampai 100%.
Padahal, Ciputra berharap, terjadi kenaikan tingkat okupansi di pusat perbelanjaan. Maklum, kontribusi pendapatan dari pusat belanja ini lumayan besar, yakni 20% dari total pendapatan.
Ciputra sudah menaikan tarif sewa pusat belanja berkisar 3% sampai 10% pada tahun ini. Besaran tarif tersebut tergantung lokasi masing-masing pusat belanja.
Sedangkan tahun depan, Harun menyebutkan bisa saja pihaknya menaikkan kembali tarif sewa pusat belanja. Untuk besarannya dia masih belum bisa memberi penjelasan. Lantaran masih harus melihat angka inflasi tahunan dan beberapa faktor lain yang tak ia sebut.
Yang jelas, bagi Ciputra, berbisnis pusat belanja ini adalah hal tersulit. Pihaknya harus berupaya supaya tingkat okupansi pusat belanja tidak turun.
Soalnya, bila ada pusat belanja yang tingkat okupansinya tidak mencapai angka 65%, maka dianggap sebagai pusat belanja yang gagal. Nah, Ciputra tidak mau pusat belanja kelolaannya dicap seperti itu. Apalagi bila pusat belanja tersebut baru terbangun, misalnya. "Makanya kami harus super hati-hati berbisnis di pusat belanja," ujar dia.
Harun menargetkan tingkat okupansi pusat belanja Grup Ciputra di tahun depan paling tidak sama dengan tahun ini. "Kecuali di daerah tertentu yang ada infrastruktur baru," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News