Reporter: Dimas Andi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aksi korporasi berupa merger dan akuisisi cenderung sepi di tahun ini. Mengutip Reuters, nilai merger dan akuisisi lintas negara turun 25% (yoy) di 2019 lalu menjadi US$ 1,2 triliun. Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia, termasuk di sektor pertambangan.
Awal tahun lalu, memang ada akuisisi 51% saham PT Freeport Indonesia oleh PT Indonesia Asahan Aluminium senilai Rp 55 triliun.
Namun, setelah itu belum ada akuisisi ataupun merger di sektor pertambangan bernilai jumbo yang terealisasi. Rencana Mining Industry Indonesia (Mind Id) yang membeli 20% saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO) baru benar-benar rampung pertengahan tahun 2020.
Baca Juga: Merger dan akuisisi lintas negara turun 25% yoy sepanjang 2019, kenapa?
Khusus pertambangan batubara, beberapa emiten cenderung menahan diri untuk melakukan aksi korporasi tersebut. Misalnya, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) yang memilih memaksimalkan tiga aset tambangnya, yakni KPC, Arutmin, dan Pendopo alih-alih mencari lahan tambang baru.
Ada pula PT Indika Energy Tbk (INDY) yang belum berniat mengakuisisi tambang baru atau eksisting dalam waktu dekat dan lebih memilih untuk melakukan diversifikasi di sektor non-batubara.
Sementara itu, usai mengakuisisi tambang Rio Tinto pada 2018 silam, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) juga belum memiliki rencana untuk akuisisi tambang lagi sejauh ini.
Baca Juga: Target produksi nikel Vale Indonesia di 2020 stagnan
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, tren merger dan akuisisi di sektor pertambangan batubara cenderung berkurang. Salah satu penyebabnya adalah kondisi harga batubara yang melemah sehingga mempengaruhi kinerja bisnis di sektor tersebut secara keseluruhan.
Pengusaha tambang batubara juga masih menghadapi ketidakpastian dalam investasi mengingat belum rampungnya revisi UU Minerba. Padahal, beleid ini menjadi payung hukum untuk perpanjangan sejumlah kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Belum lagi, industri batubara pelan tapi pasti mulai tergeser oleh energi baru dan terbarukan (EBT).
Hendra menilai, tantangan-tantangan yang disebut tadi kemungkinan masih akan terjadi pada tahun ini. Sehingga ia memperkirakan, ruang untuk kegiatan merger dan akuisisi bagi perusahaan batubara masih cenderung kecil.
Di sisi lain, Hendra melihat, perusahaan-perusahaan tambang batubara akan condong berekspansi di bidang pembangkit listrik ataupun pembangunan pabrik baru. “Kemungkinan perusahaan akan lebih diversifikasi ke PLTU sambil efisiensi,” ujar dia, Jumat (3/1).
Ambil contoh PT Toba Bara Sejahtra Tbk (TOBA) yang sedang giat-giatnya membangun PLTU di Gorontalo dan Sulawesi Utara. Emiten ini pun ingin bertransformasi menjadi perusahaan energi terintegrasi.
Baca Juga: Emiten Batubara Kerek Produksi Tahun Depan
Sebaliknya, Hendra menilai aksi merger atau akuisisi masih akan banyak dijumpai di sektor pertambangan mineral. “Adanya kewajiban divestasi bagi perusahaan mineral memungkinkan proses akuisisi marak terjadi di masa mendatang,” ungkapnya.
Di samping itu, sejumlah harga komoditas mineral pun masih cukup prospektif memasuki tahun 2020. Selain emas yang sudah mengalami lonjakan sejak tahun lalu, harga nikel juga berpotensi meningkat berkat kebijakan pemerintah yang melarang ekspor produk tersebut.
Kenaikan harga komoditas ini dapat menopang kinerja keuangan perusahaan tambang mineral, sehingga pada akhirnya menjadi nilai tambah tersendiri ketika melakukan aksi korporasi seperti merger dan akuisisi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News