kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,02   -8,28   -0.91%
  • EMAS1.318.000 0,61%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

BK kakao diterapkan, petani & eksportir merugi


Rabu, 23 Mei 2012 / 08:40 WIB
BK kakao diterapkan, petani & eksportir merugi
ILUSTRASI. Pertamina menambah pasokan LPG sebesar 3%, dari penyaluran harian rata-rata.


Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Seperti dua sisi mata uang, setiap kebijakan pemerintah pasti ada yang diuntungkan namun tidak sedikit pula yang dirugikan. Seperti yang terjadi dengan penerapan bea keluar (BK) kakao yang sudah berlangsung dua tahun terakhir.

Di satu sisi, penerapan BK kakao menguntungkan industri pengolahan kakao dalam negeri. Namun, di sisi lain petani dan eksportir biji kakao merasa dirugikan. Sulaiman Husain Loeloe, Ketua Asosisasi Petani Kakao Indonesia (Apkai) Sulawesi Selatan mengaku sejak penerapan BK kakao, harga biji kakao di tingkat petani merosot.

Sulaiman mengatakan, petani kakao di Sulawesi Selatan saat ini hanya bisa menikmati harga Rp 19.000 dari setiap kilogram (kg) kakao yang dipanen. Sedangkan pada 2009 sebelum BK kakao ditetapkan, petani bisa memperoleh harga Rp 25.000 per kg. Karena harga anjlok, banyak petani yang mengalihkan tanaman kakao ke komoditas lain, seperti karet atau kelapa sawit.

Dia menyebutkan, di Kabupaten Soppeng, Pemerintah Daerah telah menyetujui pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 20.000 ha. Dari jumlah itu sekitar 4.000 ha sebelumnya adalah perkebunan kakao. Di Kabupaten Luwu Timur, sekitar 5.000 ha perkebunan kakao juga sudah disulap menjadi kebun sawit.

Harga jual kakao akan semakin jatuh jika lokasi perkebunan jauh dari Makasar. Seperti di Kabupaten Sinjai dan Kabupaten Luwu Timur dihargai Rp 17.000 per kg.

"Dengan kepemilikan lahan rata-rata 1 hektare per kepala keluarga, jika dulu penghasilan mencapai Rp 25 juta setahun, sekarang hanya Rp 11,4 juta," kata Sulaiman, Selasa (22/5). Oleh karena itu Sulaiman meminta pemerintah mengkaji kembali pengenaan BK kakao.

Akibat banyaknya petani yang berpindah, produksi kakao tahun lalu hanya mencapai 440.967 ton, turun 21% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 557.596 ton.

"Selain itu banyak pohon kakao yang usianya sudah tua lebih dari 25 tahun. Intensitas hujan juga sangat tinggi tahun lalu sehingga rentan serangan penyakit dan jamur," kata Zulhefi Sikumbang, Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo).

Penurunan produksi tak seiring dengan peningkatan kapasitas terpasang industri olahan kakao yang mencapai 650.000 ton per tahun. Menurut Zulhefi, dengan kakao produksi nasional tahun lalu sebesar 440.967 ton, penyerapan industri olahan kakao lokal hanya 250.000 ton dan 210.067 ton di ekspor.

Zulhefi menuding penerapan BK kakao tidak adil, sebab industri pengolahan dalam negeri memperoleh harga bahan baku murah. Sedangkan petani dan eksportir harus menanggung bea keluar kakao yang tinggi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×