Reporter: Siti Masitoh | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyatakan, Indonesia perlu mewaspadai teknologi recycle atau daur ulang baterai kendaraan listrik yang dimiliki negara-negara di Eropa.
Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM, Nurul Ichwan menjelaskan, kekhawatiran ini lantaran dengan adanya teknologi recycle yang canggih di Eropa, sehingga Indonesia berpotensi kehilangan pasar baterai listrik ke negara-negara tersebut.
“Tapi yang harus hati-hati adalah move on dari negara yang nggak punya nikel tapi mereka negara maju karena punya teknologi,” tutru Nurul kepada awak media, Sabtu (2/9).
Nurul menjelaskan, pada tahun pertama memang baterai yang dibuat dari luar Eropa seperti Indonesia dan Filipina memang akan masuk ke pasar Eropa. Akan tetapi, setelah baterai tersebut masuk ke pasar Eropa, mereka bisa mendaur ulang baterai tersebut menjadi baterai baru yang siap digunakan.
Baca Juga: Aismoli Yakin Bisa Penuhi Seluruh Permintaan Motor Listrik Bersubsidi Tahun Ini
“Jadi saat dia (Eropa) sudah merasa bahan bakunya cukup, dia akan memproduksi baterai sendiri dengan me-resycle baterai bekas di Eropa. Kita memang masih punya waktu sampai saat ini. Tapi ketika waktu itu sudah datang, bisa jadi impor dari prekusor, katoda, battery pack, dari Indonesia jadi akan berkurang,” jelasnya.
Bahkan, kata Nurul, setelah Eropa berhasil mendaur ulang baterai listrik dan tidak lagi bergantung pada impor bahan baterai listrik, hasil daur ulang baterai listrik dari Indonesia pun tidak akan diminati. Eropa, lanjutnya, sudah menyiapkan desain atau rencana tersebut mulai pada 2025 hingga 2030.
Meski begitu, Nurul mengatakan Indonesia sudah menyiapkan beberapa langkah untuk menghadapi permasalahan tersebut. Menurutnya industri baterai listrik memang diperkirakan akan bermanuver di kisaran 2030 hingga 2040. Kemungkinan pada 2040 akan tergantikan oleh teknologi baru dari hidrogen.
“Atrinya momentum yang kita punya hanya sampai 2030-2040. Jangan sampai kita hanya berpikir pada industri baterainya saja. Tetapi electric vehicle (EV) juga harus hadir disini. Karena EV ini cost-nya paling besar adalah baterai, makannya yang paling menguntungkan itu adalah punya industri baterainya,” jelasnya.
Baca Juga: Kemenperin Dorong Pemberian Insentif PPN Bagi Mobil Listrik Hybrid
Selain itu, Nurul mengatakan, solusi lain yang bisa dijalankan adalah membuat ASEAN market dan recycle baterai listrik dibuat bersama-sama. Sehingga ASEAN bisa sama-sama menjadi bagian dari market yang mandiri, mulai dari EV baterai sampai manufakturnya.
“Ini mau tak mau. Karena kalau kita hanya bergantung pada market orang lain kita hanya akan didikte oleh mereka dan kita tak punya kemandirian. Jadi jangan hanya fokus mendirikan baterai kemudian di konsumsi orang lain. Dia harus industrinya di sini, sehingga akan jadi market utama yang bisa menjadi buffer staf ketika mereka memblokir dari negara kita,” imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News