kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.895.000   -28.000   -1,46%
  • USD/IDR 16.320   8,00   0,05%
  • IDX 7.191   -8,23   -0,11%
  • KOMPAS100 1.048   -3,60   -0,34%
  • LQ45 816   -2,19   -0,27%
  • ISSI 227   0,55   0,24%
  • IDX30 427   -1,66   -0,39%
  • IDXHIDIV20 507   -1,16   -0,23%
  • IDX80 118   -0,39   -0,33%
  • IDXV30 120   -0,20   -0,16%
  • IDXQ30 139   -0,68   -0,48%

BMAD Polyester Dinilai Menghambat Pasar, APSyFI: Justru Agar Industri Lokal Hidup


Selasa, 27 Mei 2025 / 07:57 WIB
BMAD Polyester Dinilai Menghambat Pasar, APSyFI: Justru Agar Industri Lokal Hidup
ILUSTRASI. APSyFI menilai kebijakan BMAD yang diberlakukan pemerintah justru merupakan upaya untuk memulihkan kondisi industri dalam negeri.. KONTAN/Daniel Prabowo/15/07/2010


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana kebijakan kenaikan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) untuk produk polyester oriented yarn dan draw textured yarn (POY-DTY) yang diterapkan pemerintah menuai perhatian dari berbagai pihak. 

Salah satunya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang mengkhawatirkan kebijakan ini dapat mengganggu persaingan usaha dan merugikan industri hilir tekstil. 

Namun, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menilai bahwa kekhawatiran tersebut perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas. 

Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan bahwa kebijakan BMAD yang diberlakukan pemerintah justru merupakan upaya untuk memulihkan kondisi industri dalam negeri yang selama ini terganggu oleh praktik perdagangan tidak adil, yaitu dumping. 

Baca Juga: KPPU Sebut Rencana BMAD Benang Filamen dari China Berisiko Hambat Persaingan Usaha

“Harusnya persaingan usaha itu sehat. Dan dalam konteks ini, pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan (Kemendag) sudah menjalankan tugasnya. Mereka sudah menganalisis, mencari bukti, dan akhirnya terbukti bahwa memang ada praktik dumping,” jelas Redma dalam keterangan pers, Selasa (27/5).

Redma menambahkan bahwa dumping adalah praktik usaha yang tidak sehat dan berdampak buruk terhadap pelaku industri nasional. Oleh karena itu, kebijakan BMAD ini wajib bergulir karena menciptakan playing field yang adil bagi industri tekstil.

“Dumping ini praktik usaha yang tidak sehat. Artinya, seharusnya KPPU juga punya sensitivitas untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik semacam itu,” kata Redma.

Redma menegaskan bahwa kebijakan ini tidak muncul tanpa dasar. BMAD diterapkan setelah Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), lembaga resmi pemerintah yang ditunjuk untuk menangani kasus dumping, melakukan penyelidikan dan menemukan bahwa produk impor dijual dengan harga yang jauh lebih murah dari harga normal atau harga di negara asal.

“Ini bukan cuma opini kita. Ini sudah dibuktikan sama otoritas pemerintah (KADI), institusi yang memang punya wewenang dan koridor hukumnya. Jadi mereka punya landasannya,” ucap Redma.

Terkait kondisi pasar saat ini, KPPU menyoroti bahwa satu perusahaan lokal terlihat mendominasi pasokan POY di Indonesia. Namun APSyFI memberikan klarifikasi bahwa dominasi tersebut terjadi akibat praktik dumping yang merusak industri tekstil, khususnya sektor hulu.

Baca Juga: KPPU Ingatkan Kemendag Pengenaan BMAD Benang Filamen Tekan Industri Hilir

“Kalau dari concern KPPU, memang sekarang kondisi untuk POY itu kelihatannya cuma satu company yang dominan suplai ke dalam negeri. Tapi sebenarnya produsennya ada lima. Cuma, karena praktik dumping dari impor, tiga di antaranya tutup. Satu lagi cuma produksi sedikit. Jadi, kenapa sekarang kelihatannya satu company yang dominan? Ya karena yang lain pada mati duluan," ungkap Redma. 

Redma menjelaskan bahwa dengan adanya kebijakan BMAD, produksi POY diperkirakan bisa mencapai 430.000 ton per tahun. Dari jumlah itu, sekitar 300.000 ton akan dipakai oleh perusahaan anggota APSyFI untuk keperluan produksi mereka sendiri. Sementara sisanya, dan sekitar 130.000 ton akan dijual ke pasar dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan industri lain.

Redma juga menyoroti pentingnya keadilan dalam harga jual. Menurutnya, para pelaku industri dalam negeri tidak keberatan bersaing, asalkan berada di level harga yang adil dan setara. 

Ia menyebutkan bahwa ada produk yang bahkan dijual di Indonesia dengan harga US$ 0,95 per kilogram. Padahal harga normal pasar ada di kisaran US$ 1,15 sampai US$ 1,20. 

“Harga normal POY itu sekitar US$ 1,15 sampai US$ 1,2 per kilogram. Tapi sekarang ada yang jual di bawah US$ 1 bahkan sampai US$ 0,95. Jelas ini indikasi dumping,” tegas Redma.

Meski demikian, APSyFI menghormati posisi dan peran KPPU dalam menjaga persaingan usaha di Indonesia. Redma berharap KPPU juga melihat kebijakan BMAD sebagai bagian dari upaya memulihkan persaingan yang sehat, bukan sebagai hambatan baru. 

“Saya rasa KPPU belum menangkap soal ini. Ini kan sebenarnya predatory pricing. Tapi dengan komunikasi yang baik, saya yakin semua pihak bisa punya pemahaman yang sama soal pentingnya melindungi industri kita,” pungkas Redma.

Selanjutnya: Harga Emas Pegadaian Hari Ini 27 Mei 2025: Antam dan UBS Anjlok Dalam

Menarik Dibaca: Harga Emas Pegadaian Hari Ini 27 Mei 2025: Antam dan UBS Anjlok Dalam

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×