Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berbagai cara terus dilakukan guna mewujudkan swasmbada gula. Namun, sebagus apapun program yang dibuat jika tidak dijakalahkan sesuai rencana maka akan percuma.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen mengatakan bahwa ada banyak program yang baik untuk mewujudkan swasembada gula. Tapi semua itu akan percuma jika tidak dikawal dengan baik.
“Jadi program ingin dibentuknya Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Tebu itu sudah ada sejak dahulu,” ungkap Soemitro dalam keterangannya, Sabtu (16/1).
Seperti diketahui, adanya wacana BPDP Tebu ini dibuat agar petani tebu bisa mendapatkan subsidi dari dana yang dikumpulkan dari BPDP Tebu ini. Adapun konsepnya yakni industri (pabrik gula atau PG) yang melakukan impor raw sugar (gula mentah) dipungut dana dari jumlah volume raw sugar yang dilakukannya.
Baca Juga: APTRI: Sumber dana BPDP tebu seharusnya dari importir
Bahkan dengan adanya BPDP Tebu diharapkan bisa menstabilkan harga gula ditingkat petani, dengan begitu petani dan industri bisa maju bersama.
“Sebab kunci dari terwujudnya swasembada itu sebenarnya mudah, yakni meningkatkan produksi petani,” jelas Soemitro.
Namun, menurut Soemitro, seberapa pun bagusnya program tetap harus diawasi agar bisa berjalan sesuai perencanaan dan pelaksanannya pun juga harus diawasi agar tidak menyimpang.
Sementara itu, Maryono, Ketua Kelompok Tani Sido Luhur pun menyambut baik jika terbentuk BPDP Tebu seperti BPDP Kelapa Sawit.
“Tapi kalau bisa dibentuk payung hukumnya sekalian agar yang menjalankannya bisa secara maksimal,” jelas Maryono.
Melalui BPDP Tebu, Maryono berharap, “bisa membenahi komoditas gula dari hulu (budidaya) hingga hilir (industri).”
Baca Juga: AEKI: Pembentukan BPDP untuk komoditas kopi tidak boleh membebani petani
Dari sisi hulu, Maryono mencontohkan, melalui BPDP Tebu bisa bisa untuk memperbaiki sumber daya manusia (SDM) seperti pekebun atau petani (tebu). Lalu bisa juga untuk membantu petani dalam melakukan mekanisasi baik saat penanaman ataupun pasca panen.
“Diantaranya, harga pupuk dahulu seharga Rp 72.000 per sak, tapi kini menjadi Rp 85.000 per sak (harga ditingkat petani). Padahal dalam satu hektar lahan tebu dibutuhkan sekitar 20 sak pupuk. Belum lagi harga sewa lahan yang juga mengalami kenaikan,” terang Maryono.
Dari sisi hilir, melalui BPDP Tebu dana tersebut bisa digunakan industri dalam hal ini pabri gula (PG) untuk mensubsidi pembelian tebu petani disaat rendemen sedang rendah.