Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
“Sehingga dalam hal ini petani dan industri sama-sama mendapatkan keuntungandari BPDP Tebu, dengan begitu swasembada gula akan terwujud melalui perbaikan dari hulu hingga hilir,” harap Maryono.
Disisi lain, Maryono mengakui, harus ada sinkronisasi antar Kementerian. Dari Kementerian Pertanian (Kementan) terus mendorong agar petani bisa meningkatkan produktivitas, dan itu sudah sesuai.
Lalu, dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengatur jadwal kapan harus melakukan impor, dan impor jangan melebihi dari kebutuhan. “Jadi sekalipun mau melakukan impor, jangan dilakukan saat petani sedang panen. Tapi disaat gula sedang langka atau produksi petani sedang rendah,” saran Maryono.
Kemudian, lanjut Maryono, dari Kementerian BUMN berikanlah harga pupuk untuk petani yang terjangkau sesuai kemampuan petani. Hal ini agar biaya produksi petani rendah, sehingga petani bisa berdaya saing.
Artinya swasembada akan diwujudkan jika dilakukan dengan serius. Maka dalam hal ini harus ada perbaikan dari hulu hingga hilir dan masing-masing kemeterian harus ada sinkronisasi.
Baca Juga: Maksimalkan kapasitas, pelaku industri gula konsisten lakukan revitalisasi pabrik
Sementara itu, Kamari, Ketua Kelompok Tani Subur Makmur pun menyambut positif jika memang ada BPDP Tebu terwujud. Hal ini karena dengan adanya BPDP Tebu bisa melakukan subsidi silang antara industri dengan petani.
Memang sudah saatnya komoditas tebu menggunakan pola seperti itu yakni subsidi silang, atau kemitraan, terlebih saat ini biaya pokok produksi cukup tinggi. Contohnya dari mulai sewa lahan, harga pupuk, hingga sewa alat. “Sehingga melalui subsidi silang diharapkan bisa menekan biaya pokok produksi,” harap Kamari.
Diantaranya, Kamari mencontohkan, sewa lahan saat ini rata diantara Rp10 juta sampai Rp 20 juta per hektar. Kemudian sewa alat biasanya hanya Rp 2 juta kini naik menjadi Rp 4 juta. Jadi saat ini dihitung biaya pokok produksi mencapai Rp12.500 per kilogram. Sedangkan harga lelang gula ditingkat petani berada diangka sekitar Rp11.000 – 11.500 per kilogram.
“Artinya biaya pokok produksi masih lebih tinggi dibandingkan harga lelang ditingkat petani,” jelas Kamari.
Maka jika terbentuk BPDP Tebu diharapkan bisa digunakan untuk mensubsidi pembelian gula ditingkat petani. Minimal diatas angka biaya pokok produksi. Intinya jangan sampai pembelian harga lelang ditingkat petani lebih rendah dibandingkan dengan biaya pokok produksi.
“Sehingga kalau harga gula menarik maka petani otomatis akan menanam,” tambah Kamari.
Kemudian, Kamari mengusulkan, setiap PG yang mendapatkan kuota impor raw sugar, diharapkan dapat meneyrap gula ditingkat petani dengan sistem 50:50. “Contoh, jadi kalau bisa jika PG mendapatkan kuota impor raw sugar sebanyak 100 ton, mak seraplah gula petani sebanyak 100 ton juga,” usul Kamari.
Padahal, kata Kamari, sebenarnya keinginan petani tebu tidaklah tinggi. Petani hanya ingin hasil dari petani dibeli lebih tinggi dari biaya pokok produksi. Terlebih komoditas perkebunan termasuk perkebunan tebu adalah sektor yang padat karya dari mulai tanam hingga digerakkan menggunakan manusia.
Selanjutnya: Karpet Merah untuk Investor, Seabrek Insentif di Daftar Positif Investasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News