Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengaku tak keberatan jika tarif iuran badan usaha penyaluran gas diturunkan, bahkan ditiadakan. Hal ini dilakukan untuk mendukung penyesuaian harga gas industri mencapai US$ 6 per MMBTU sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016.
Kepala BPH Migas M. Fanshurullah Asa mengatakan, jumlah penerimaan dari iuran penyaluran badan usaha gas tidak cukup signifikan. Berdasarkan rekapitulasi tahun 2019, total penerimaan dari iuran migas sebesar Rp 1,32 triliun.
Baca Juga: Anggota DPR ini minta peran aktif Ahok tagih piutang Pertamina ke pemerintah
Dari jumlah tersebut, iuran dari badan usaha Bahan Bakar Minyak (BBM) memegang porsi paling besar, yakni sebesar Rp 1,03 triliun atau 78% dari total penerimaan.
Sedangkan iuran dari badan usaha gas menyentuh angka Rp 285 miliar atau 22% dari total penerimaan. Lebih rinci, Fanshurullan memaparkan bahwa iuran yang diperoleh dari badan usaha swasta mencapai Rp 178 miliar. Sementara iuran dari PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN) hanya sebanyak Rp 107 miliar.
"Iuran kecil, jadi kalau memang BPH Migas diminta melepas, silahkan" kata Fanshurullah dalam Rapat Dengar Pendapat yang bersama Komisi VII DPR RI, Rabu (12/2).
Hanya saja, Fanshurullah mengingatkan, tarif iuran badan usaha migas tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 tahun 2019 yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan. Sehingga, jika ada perubahan pada pengenaan iuran, maka regulasi itu harus terlebih dulu direvisi.
Baca Juga: Revisi AMDAL Blok Cepu masih temui jalan buntu
Fanshurullah pun mengatakan, tarif iuran yang diatur dalam PP Nomor 48/2019 sebenarnya sudah lebih rendah dibandingkan tarif yang diatur dalam beleid sebelumnya, yakni PP nomor 1 tahun 2006.
"PP nomor 48 tahun 2019 sebenarnya sudah menurunkan persentase (iuran) untuk BBM dan gas," ungkapnya.
Lebih lanjut, Fanshurullah menerangkan ada beberapa komponen pembentuk harga gas industri. Menurutnya, porsi terbesar berasal dari biaya gas di sektor hulu. Sementara, komponen pembentuk harga yang berada di bawah pengaturan BPH migas hanya dari biaya transmisi. Adapun, komponen biaya distribusi dan niaga diatur oleh Kementerian ESDM.
Baca Juga: Lelang ruas WJD/WNT terganjal rencana induk dari Kementerian ESDM
Menurut perhitungan Fanshurullah, jika iuran tersebut ditiadakan, maka pengaruh ke pembentukan harga gas hanya berkisar US$ 0,02 per MMBTU. "Jadi kalau dikurang tidak signifikan. BPH kan cuman transmisi, di hulu itu strukturnya 70% (dari pembentuk harga gas)," terangnya.
Sebelumnya, Direktur Utama PGN Gigih Prakoso mengungkapkan bahwa harga gas di sektor hulu memang berkontribusi paling dominan, yakni sebesar 70% dari pembentukan harga ke pengguna akhir. "Sedangkan untuk biaya transmisi itu kontribusinya sekitar 13% dan biaya distribusi mencapai 17%," jelasnya.
Iuran badan usaha tersebut masuk ke dalam komponen biaya transmisi yang diatur oleh Peraturan BPH Migas. Untuk bisa menekan harga gas industri agar sesuai Perpres Nomor 40 Tahun 2016, Gigih pun menyampaikan sejumlah usulan. Penghapusan iuran kegiatan usaha gas bumi menjadi salah satunya.
Baca Juga: Kepala SKK Migas: Proses revisi AMDAL Blok Cepu masih berlangsung
"Kami juga mengusulkan untuk penghapusan iuran kegiatan usaha gas bumi dimana akan dioptimalkan untuk membangun infrastruktur gas," sebutnya.
Menurut Gigih, pihaknya masih melakukan pembahasan terkait penurunan harga gas industri tersebut, termasuk dengan melakukan konsultasi intensif bersama Kementerian ESDM serta Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Gigih mengatakan, dalam pembahasan tersebut ditargetkan bahwa harga gas industri sesuai Perpres Nomor 40/2016 bisa diterapkan mulai 1 April 2020.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News