Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keberadaan obat atau juga vaksin COVID-19 memang sedang banyak diusahakan banyak pihak, baik dari dalam negeri lewat lembaga riset dan perguruan tinggi, maupun impor. Pasalnya untuk menghasilkan vaksin perlu riset dalam waktu cukup lama.
Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif BPOM Nurma Hidayati mengatakan, di satu sisi vaksin tersebut dibutuhkan segera karena pandemi sudah menyebar cepat, sehingga vaksin jadi harapan masyarakat di seluruh penjuru dunia untuk menekan penyebaran virus.
"Biasanya penelitian untuk obat secara umum perlu riset sepuluh sampai dua puluh tahun. Sedangkan kita tidak bisa menunggu selama itu untuk vaksin COVID-19. Yang dilakukan oleh para peneliti dan produsen vaksin, bagaimana mempercepat proses produksi vaksin agar bisa didistribusikan kepada masyarakat. Jadi yang penting sekarang vaksin tersebut aman dulu," ungkapnya dalam The 2nd MarkPlus Industry Roundtable: Pharmaceutical Industry Perspective secara virtual pada Selasa (17/11).
Baca Juga: Sektor farmasi herbal kian berjaya di masa pandemi virus corona
Ia melanjutkan, salah satunya adalah dengan uji klinis yang dilakukan pada hewan dan manusia. Ketika uji klinis kepada hewan berhasil, bisa dilanjutkan kepada manusia.
Keberhasilan yang dilihat adalah apakah vaksin tersebut aman, atau dalam artian menimbulkan kekebalan dalam tubuh atau tidak. Nurma mengatakan setidaknya kekebalan tersebut ada selama tiga bulan, itu sudah cukup.
Dan dalam waktu dua sampai lima tahun, keberadaan vaksin tersebut akan terus diteliti agar pengembangan vaksin semakin sempurna. "Kuncinya percepatan proses. Ketika disuntikkan muncul kekebalan, silakan dilanjutkan sembari perkembangannya diamati. Itu yang dilakukan oleh banyak pihak sekarang ini," sambungnya.
Setidaknya ada beberapa lembaga riset dan universitas yang mengembangkan vaksin COVID-19, dengan realisasi paling cepat pada pertengahan 2021.
Namun sampai waktu tersebut, vaksin impor yang sudah hampir siap didistribusikan dalam waktu dekat jadi solusi jangka pendek. Selain itu, produk impor juga ditujukan untuk pengembangan vaksin yang diproduksi dalam negeri.
Baca Juga: Empat negara bagian AS akan jadi lokasi percontohan imunisasi COVID-19 oleh Pfizer
Sembari menunggu keberadaan vaksin-vaksin yang sedang dalam tahap uji klinis, masyarakat mengalihkan perhatiannya kepada obat-obatan herbal penjaga imunitas.
CEO Kalbe Farma Vidjongtius mengatakan bahwa perusahaan kini sudah memiliki belasan produk herbal di mana di masa depan akan terus bertambah sesuai permintaan konsumen.
"Masyarakat juga semakin sadar akan standardisasi uji klinis. Makanya kami juga terus kembangkan produk herbal dengan standar tersebut. Potensinya di masa depan sangat besar," ungkapnya.
Baca Juga: Pandemi belum berakhir, ini cara meningkatkan daya tahan tubuh meski di rumah saja
Sementara itu, menurut GP Jamu, industri obat herbal diharapkan bisa tumbuh sampai tujuh persen. Data Kementerian Perindustrian juga menunjukkan potensi nilai penjualan jamu di pasar domestik sekitar Rp 20 triliun dengan ekspor senilai Rp16 triliun.
Tantangannya adalah, dengan sumber daya untuk produksi obat-obat herbal dari dalam negeri yang melimpah, masih banyak produk herbal yang mengandalkan bahan baku impor.
"Ini yang harus kita tekankan. Bahan baku dalam negeri juga bisa menekan harga produk herbal lebih terjangkau," tutup Wakil Ketua Bidang Humas DPP GP Jamu Edward Basilianus.
Selanjutnya: Terawan sebut hanya mereka yang masuk golongan usia ini yang dapat vaksin Covid-19
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News