kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.938.000   14.000   0,73%
  • USD/IDR 16.300   -5,00   -0,03%
  • IDX 7.113   44,39   0,63%
  • KOMPAS100 1.038   7,95   0,77%
  • LQ45 802   5,08   0,64%
  • ISSI 229   1,99   0,87%
  • IDX30 417   1,49   0,36%
  • IDXHIDIV20 489   1,52   0,31%
  • IDX80 117   0,66   0,57%
  • IDXV30 119   -0,75   -0,63%
  • IDXQ30 135   0,08   0,06%

Buah Lokal Masih Tersisih


Rabu, 17 Maret 2010 / 10:26 WIB
Buah Lokal Masih Tersisih


Sumber: Kontan | Editor: Test Test

JAKARTA. Potensi pasar buah-buahan kualitas premium masih sangat besar. Permintaan buah premium terutama datang dari pasar ritel modern seperti Giant dan Carrefour. Belum lagi, pasar ekspor juga masih menganga lebar. Sayangnya, produsen Indonesia belum mampu memenuhi permintaan buah berkualitas super itu secara konsisten. Akibatnya, berbagai pasar swalayan lebih memilih buah impor.

Padahal, jika menjual buah premium lokal, para retailer besar bisa meraup keuntungan lebih banyak. “Margin keuntungan dari buah impor hanya 20% dari modal, sedangkan buah lokal bisa mendapatkan margin minimal 30%,” ujar Anggota Asosiasi Eskportir Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia Lie Po Fung, akhir pekan lalu.

Buah premium adalah buah dengan kualitas di atas rata-rata. Buah premium biasanya memiliki ukuran lebih besar dan rasanya lebih manis. Saat ini, buah yang menjadi andalan Indonesia antara lain mangga, rambutan, pisang, salak, dan manggis.

Saat ini, produksi buah premium di Indonesia masih sangat minim, yakni hanya 5%-10% dari total produksi buah nasional. Artinya, dari total produksi buah lokal yang mencapai 18,92 juta ton di 2009, hanya 946.000 ton - 1,89 juta ton yang masuk kategori premium.

Dari seluruh produksi buah premium tersebut, sekitar 400.000 ton diekspor. Sehingga, buah premium yang beredar di pasar domestik sekitar 546.000 ton - 1,49 juta ton.

Masalahnya, menurut Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Ahmad Dimyati, produsen buah premium di Indonesia kerap tidak bisa memasok buah sesuai jadwal. Akibatnya, "Saat cadangan buah lokal kosong, keranjang pamer di supermarket diisi buah impor," katanya.

Masalah distribusi masih menjadi salah satu penyebab telat atau minimnya stok buah lokal yang di gerai-gerai retailer. Akibatnya, "Buah-buah impor yang pengirimannya lebih terjadwal berhasil menggeser posisi buah lokal," ujar Dimyati.

Untuk mengatasi masalah ini, Dimyati mengatakan, pemerintah akan membereskan distribusi buah premium lokal. Pemerintah juga berencana menggenjot produksi buah premium. Pada saat yang sama, konsumsi masyarakat terhadap buah juga bakal ditingkatkan.

Dimyati bilang, saat ini, tingkat konsumsi buah di dalam negeri masih minim. Konsumsi buah masyarakat Indonesia hanya 40 kilogram (kg) per kapita per tahun, jauh di bawah ketentuan Badan Pangan Dunia (FAO) sebanyak 73 kg per kapita per tahun.

Direktur Budidaya Tanaman Buah,Winny Dian Wibawa menjanjikan, pemerintah akan mendorong para petani memenuhi prosedur penanaman yang baik alias good agriculture procedure (GAP) dan prosedur penanganan yang baik alias good handling procedure (GHP) yang mencakup pemupukan, pemeliharaan serta penanganan setelah panen. Maklum, kedua standar tersebut menjadi syarat buah untuk layak diekspor. "Saat ini, sudah ada 2.551 kebun yang sudah memenuhi kedua standar internasional tersebut," kata Winny.

Harga jual buah yang telah memenuhi dua standar ini akan lebih tinggi. Dengan begitu, petani bisa memperoleh keuntungan yang besar. Terlebih lagi, jika mereka bisa langsung membuka akses ke supermarket. "Kalau petani menjual buahnya ke pengumpul pembayarannya dua minggu sekali. Tapi kalau ke supermarket, pembayarannya hari itu juga, sesuai kesepakatan,” papar Winny.

Tapi, menurut Ketua Umum Dewan Hortikultura Nasional Benny A. Kusbini, selain urusan produksi, masih ada satu lagi persoalan yang mengganjal pemasaran buah lokal premium lokal, yakni buruknya kemasan. Akibatnya, pasar swalayan lebih memilih menjual buah impor yang tampilannya lebih menarik.

Menurut Benny, buruknya penampilan buah lokal terjadi lantaran serangan hama. "Dari 1.000 kg buah, paling hanya 10%-30% yang bagus," ujarnya. Ia mengakui, buruknya tampilan buah lokal terjadi lantaran petani tidak menerapkan standar penanaman (GAP) yang baik. Maklum, untuk memenuhi standar tersebut, petani membutuhkan biaya besar. Celakanya, kredit perbankan pun mengenakan bunga yang tinggi.

Benny menghitung, biaya yang dibutuhkan untuk mengikuti persyaratan GAP adalah sekitar Rp 15 miliar untuk 300 hektare lahan. Itu pun dengan syarat tanah sudah tersedia. Makanya, ia mendesak pemerintah memerintahkan perbankan agar memberikan akses kredit berbunga rendah kepada para petani.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×