Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
Andreas menegaskan dirinya bukan membela siapapun. Namun jika harga mahal, maka yang dirugikan adalah konsumen. Sebaliknya, citra dan kinerja kemendag juga menjadi tidak baik, jika terjadi lonjakan harga.
Hal sama diutarakan pengamat ekonomi, Poltak Hotradero.Impor bawang putih diperlukan untuk menekan laju inflasi, terutama karena minimnya produksi bawang putih di dalam negeri.
Baca Juga: Harga Bapok Mulai Turun, Ikappi: Harga Cabai Masih Tinggi
Dia menyitir tabel harga Bappenas dan Kemendag, dalam seminggu belakangan harga bawang putih cenderung naik. Sedangkan data BPS secara periodik mencatat bahwa Bawang Putih adalah salah satu penyumbang signifikan untuk angka inflasi.
Komponen penyumbang inflasi Indonesia meliputi lebih dari 730 jenis komoditas yang terbagi atas 90 kota besar di Indonesia.
"Penyumbang terbesar adalah beras dengan bobot antara 15-17%. Biasanya harga naik karena stok langka di pasaran. Dan berhubung produksi bawang putih di Indonesia sangan rendah, hanya sekitar 10 persen dari kebutuhan, maka sisanya harus ditutup oleh impor," katanya.
"Kita salah persepsi kalau merasa bahwa segala tanaman bisa ditanam di Indonesia," kata Poltak lagi.
Menurutnya, bawang putih cocok ditanam di tanah kering dan sejuk. Curah hujan penting buat bercocok tanam, tapi kalau terlalu banyak curah hujan, maka zat hara mudah hanyut sementara tanah yang terlalu basah bisa membuat akar mudah busuk.
Baca Juga: Waspadai Krisis Global, Pemerintah Harus Kawal Komoditas Pangan Strategis
"Itu sebabnya negara seperti Korea Selatan dan Taiwan bisa menghasilkan bawang putih dalam jumlah sangat besar dibandingkan Indonesia," beber Poltak.
Sedangkan pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyebut harusnya ada kebijakan yang terkait dengan impor hortikulutra seperti bawang putih. Ia menyebut jika keran impor tetap ditutup, bisa saja terjadi inflasi yang lebih tinggi. Karena akan ada kelangkaan di pasaran.
“Nanti akan berdampak pada kestabilan pasar. Jadi memang harus ada kebijakan yang fleksibel demi menjaga kebutuhan dalam negeri agar tetap terjaga dan aman,” tuturnya.
“Ini (impor) untuk mengantisiasi perubahan-perubahan yang ada di dalam negeri seperti gagal panen dan permasalahan lainnya, maka keran impor perlu dibuka. Tapi harus dilihat stok yang ada di dalam negeri, kalau memang menipis maka perlu diantisipasi supaya tidak terjadi kerawanan pangan,” ujar Trubus lagi.
Baca Juga: Ini Cara Pemerintah Mengatasi Penyakit PMK Pada Sapi
Soal inflasi dan keterkaitannya dengan stok bahan pangan, Ekonom Bank Mandiri Faisal Rahman mengungkapkan sektor energi dan pangan menjadi penyumbang terbesar kenaikan inflasi.
Pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, diperlukan kebijakan untuk meminimalisir dampak kenaikan tersebut. Salah satunya, menjaga ketersediaan stok pangan di masyarakat. Dia menekankan, jika inflasi pangan bisa dikendalikan, maka akan berpengaruh pada kenaikan inflasi secara umum.
“Sumber inflasi sampai Agustus 2022 ada di energi dan pangan. September 2022, energi akan naik seiring penyesuaian tarif BBM. Untuk meminimalisir dampak itu, inflasi pangan harus turun,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News