kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

CEIA dorong pengembangan EBT untuk sektor industri


Selasa, 29 Oktober 2019 / 16:10 WIB
CEIA dorong pengembangan EBT untuk sektor industri
CEIA dorong pengembangan EBT untuk sektor industri


Reporter: Filemon Agung | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Clean Energy Investment Accelerator (CEIA) Indonesia menggandeng pihak industri dalam upaya mendorong pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) pada sektor dalam beberapa tahun kedepan.

Perwakilan Allotrope Partners untuk CEIA (Clean Energy Investment Accelerator) Indonesia Gina Lisdiani menjelaskan, banyak perusahaan industri memiliki target pemanfaatan EBT dalam kegiatan operasional dan rantai pasoknya, namun belum dapat memenuhi kebutuhan tersebut hingga saat ini.

Baca Juga: Butuh 1.555 MW, ini skema pemenuhan listrik di Ibukota baru

“Hingga saat ini, CEIA Indonesia telah mengidentifikasi tiga opsi yang paling mungkin untuk dilakukan, berdasarkan regulasi yang ada di Indonesia. Ketiga cara yang dimaksud adalah (1) captive power atau pembangkitan sendiri tanpa terkoneksi jaringan PLN (off-grid), (2) on-site grid connected atau pembangkitan sendiri yang terkoneksi dan beroperasi paralel dengan sistem PLN, dan (3) perolehan listrik dari sumber energi terbarukan melalui pembelian Produk Layanan Khusus Renewable Energy dari PT PLN (Persero),” ujar Gina dalam konferensi pers di Hotel Le Meridien, Selasa (29/10).

Lebih jauh Gina menuturkan, CEIA Indonesia melakukan kajian atas hambatan perusahaan dalam penerapan EBT 100% serta mengajukan hasil kajian tersebut ke pemerintah khsusunya Kementerian ESDM.

Disisi lain, Perwakilan World Resources Institute untuk CEIA Indonesia Almo Pradana mengungkapkan, diperlukan opsibyang beragam dari pemerintah dalam mendorong mendorong kontribusi sektor industri dan komersial terhadap akselerasi energi terbarukan.

"Seperti pembelian listrik dari skema penggunaan transmisi bersama, pengembangan skema sertifikat energi terbarukan dan green tariff yang memenuhi standar internasional," jelas Almo.

Baca Juga: PLN berusaha mempercepat penyediaan tabung listrik di Papua

Almo mengapresiasi langkah pemerintah yang mengubah biaya kapasitas untuk operasi paralel yang besarnya 40 jam, awalnya dikenakan juga ke pembangkit solar PV rooftop yang hanya beroperasi beberapa jam dalam sehari menjadi lima jam, sehingga menurutnya, lebih layak dari sisi pendanaan.

"Sayangnya, pemasangan solar PV rooftop di sebuah fasilitas industri diperkirakan hanya dapat memenuhi sekitar 5%-10% kebutuhan energi mereka," terang Almo.

Adapun, Regional Sustainability Manager dari kantor produksi H&M Indonesia  Anya Sapphira mengungkapkan sejauh ini baru dua factory partner yang memanfaatkan instalasi solar panel.

"Energi yang digunakan dari EBT baru sekitar 5% dari total energi yang digunakan, namun kami memiliki visi jangka panjang untuk mencapai 100%," sebut Anya.

Sementara itu, Head of Corporate Affairs and Sustainability Unilever Indonesia Nurdiana Darus menjelaskan, diperlukan kebijakan yang efektif dan mendukung penggunaan serta perkembangan energi terbarukan di Indonesia.

Baca Juga: Arifin Tasrif, Dubes RI untuk Jepang yang kini menjadi Menteri ESDM

Ia menambahkan, “Misalnya saja salah satu skema yang kami gunakan untuk memenuhi kebutuhan energi terbarukan adalah melalui skema sertifikat energi terbarukan. Artinya, Indonesia saat ini membutuhkan adanya domestic certificate supplier yang Internationally verifiable dan kebijakan yang mendukung keberadaan supplier tersebut,” ungkapnya.

Bahkan Nurdiana mengharapkan, dibukanya kemungkinan perusahaan untuk membeli listrik secara langsung dari pembangkit swasta dengan tarif atau pricing yang terjangkau untuk para pelaku bisnis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×