Reporter: Filemon Agung | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana pemerintah untuk mempercepat larangan ekspor untuk bijih nikel menuai kritik dari Pengamat pertambangan dari Center For Indonesian Resources Strategic Studies (CIRUS) sebab dinilai seolah-olah tidak memperhatikan kepentingan jangka panjang dan adanya kesan mengikuti tekanan kelompok tertentu.
"Pemerintah seharusnya melakukan evaluasi permasalahan yang dihadapi pengusaha nasional untuk mewujudkan hilirisasi. Kebijakan ini telah gagal pada tenggat waktu yang ditetapkan yakni tahun 2014, 2017 dan 2022 yang juga berpotensi gagal," kata Direktur Cirus Budi Santoso dalam pernyataannya di Jakarta, dikutip Kamis, (29/8).
Baca Juga: Cirrus minta evaluasi kebijakan hilirisasi mineral
Budi mengungkapkan, selama ini ada beberapa kesulitan pengusaha tambang nasional dalam membangun smelter mulai dari perizinan, teknikal (sumberdaya dan cadangan), infrastruktur, keuangan dan pasar yang secara praktik bisnis tidak memungkinkan bisa dicapai hanya dalam kurun waktu 5 tahun.
Menurut Budi, Pemerintah harus dapat mengurangi atau meringankan beban tersebut atau memberi kelonggaran waktu lebih fleksibel untuk memenuhi rencana sesuai dengan praktik umum kegiatan usaha dan tidak tertipu proposal yang hanya di atas kertas.
Lebih jauh Budi menilai, pemerintah dalam membuat kebijakan perlu mempertimbangkan fakta yang dialami pengusaha nasional yang akhirnya menjadi mitra minoritas. Dengan begitu, pembuatan kebijakan dapat lebih mendorong peningkatan kapasitas dan kemampuan nasional. "Bukan sebaliknya, hanya karena tujuan pembuatan smelter," tandas Budi.
Baca Juga: Larangan Ekspor Nikel Justru Mengancam Keberlangsungan Pembangunan Smelter
Dalam praktiknya, ia bilang, bijih nikel yang dipasok ke pabrik dibeli dengan harga di bawah harga pasar internasional. Sehingga secara tidak langsung pemilik smelter sudah menikmati keuntungan berlipat yaitu marjin harga dengan pasar internasional dan biaya pengapalan.
Oleh karena, lanjut Budi, Cirus memberi beberapa masukan kepada pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan tersebut dan juga memberi dorongan dan menunjukan keberpihakan kepada pengusaha nasional.
Pertama, melakukan evaluasi kegagalan perusahaan nasional membangun pengolahan dan pemurnian dan mengurangi faktor penghambat seperti perizinan, teknikal, infrastruktur, teknologi, keuangan dan pasar.
Kedua, meninjau kembali konsep hilirasi yang mengikat dengan Izin Usaha Pertambangan untuk lebih mendorong ke produk hilirnya atau ke industri. Ketiga, mempercepat ditetapkannya kebijakan mineral dan batubara (minerba) nasional sebelum melakukan perubahan undang-undang ataupun peraturan.
Baca Juga: Vale Indonesia (INCO) berharap berkah dari wacana pelarangan ekspor nikel
Dan keempat, menjamin smelter yang sudah beroperasi membeli bijih nikel tidak melalui perantara sehingga harga jual dari pemilik tambang kepada smelter mendekati harga pasar internasional.
Pemerintah juga harus mempertimbangkan masalah kegiatan ekonomi regional (daerah) yang masih mengandalkan kegiatan tambang sehingga tidak terjadi keresahan sosial apabila terjadi penghentian produksi karena tidak dapat menjual hasil tambangnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News