Reporter: Francisca Bertha Vistika | Editor: Francisca bertha
KONTAN.CO.ID - JAKARTA - Pemerintah akan mulai menerapkan cukai terhadap minuman dalam kemasan berpemanis (MDKB) pada Juli 2025. Kebijakan ini menjadi langkah penting dalam upaya menekan konsumsi gula berlebihan di Indonesia, sekaligus mengubah lanskap industri makanan dan minuman (F&B) nasional.
Menurut data Federasi Diabetes Internasional, sekitar 10% populasi Indonesia atau setara dengan 28 juta orang saat ini hidup dengan diabetes. Tingginya angka ini mendorong pemerintah mengambil kebijakan fiskal untuk menurunkan konsumsi gula, yang dianggap sebagai pemicu berbagai penyakit tidak menular.
Dessy Arfianni, Sub Regional Leader Indonesia, IFF Taste mengatakan bahwa kebijakan cukai ini menjadi tantangan signifikan bagi pelaku usaha F&B. Namun juga membawa peluang baru dalam pengembangan produk.
"Cukai ini bukan hanya soal tambahan biaya produksi. Ini adalah momentum bagi industri untuk berinovasi dalam menghadirkan minuman yang lebih sehat tanpa mengorbankan rasa," ujarnya kepada Kontan, Jumat (2/5).
Baca Juga: Chandra Asri Group Dorong Inovasi Circular Economy lewat CALIBER 2024
Dessy mengungkapkan, merumuskan ulang produk agar tetap memuaskan konsumen merupakan tantangan tersendiri. Berdasarkan pengamatan IFF, banyak produsen kesulitan menciptakan kembali rasa yang sudah akrab bagi konsumen dengan kadar gula yang lebih rendah.
Tantangan sensori seperti kehilangan tekstur, munculnya rasa pahit atau asam dari pemanis alternatif, dan aftertaste yang tidak menyenangkan menjadi hambatan utama dalam reformulasi.
Namun, perubahan preferensi konsumen membuka jalan bagi inovasi. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan mencatat bahwa 91,5% masyarakat Indonesia masih rutin mengonsumsi minuman manis.
Meski demikian, tren konsumsi sehat mulai terlihat: 99% konsumen menyatakan ingin makan lebih sehat, dan sekitar sepertiga berupaya mengurangi konsumsi minuman bergula.
“Preferensi budaya terhadap rasa manis sangat kuat, namun kesadaran kesehatan juga meningkat. Produsen harus mampu menjawab aspirasi ini tanpa mengasingkan selera konsumen,” jelas Dessy.
Baca Juga: Social Bella2024:Dorong Inovasi&Transformasi Strategis Industri Kecantikan Indonesia
Salah satu solusi yang ditawarkan IFF adalah teknologi Flavorfit, yang dapat mengoptimalkan persepsi kemanisan sekaligus menutupi rasa tak diinginkan dari pemanis alternatif.
Teknologi ini memungkinkan produsen untuk mengurangi kandungan gula dalam produk tanpa mengorbankan kepuasan rasa sehingga tetap mampu mendorong pembelian berulang.
Selain dari sisi teknologi, IFF juga mengandalkan pendekatan lokal yang kuat melalui tim Creative and Design (C&D) mereka di Indonesia, serta dukungan dari Innovation Center di Singapura.
“Kolaborasi antara tim lokal dan regional mempercepat pengembangan solusi yang relevan secara budaya dan sesuai dengan dinamika pasar Indonesia,” tambahnya.
Tak hanya soal rasa, tekanan ekonomi juga memengaruhi strategi industri. Survei GlobalData 2023 menunjukkan bahwa 87% masyarakat Indonesia khawatir terhadap dampak inflasi pada anggaran rumah tangga. Artinya, produk yang lebih sehat juga harus tetap terjangkau.
Di tengah tantangan tersebut, edukasi konsumen menjadi elemen kunci dalam mengubah pola konsumsi.
“Kesehatan bukan hanya soal kondisi fisik, tetapi juga aspirasi gaya hidup. Industri memiliki peran penting dalam mendukung transformasi ini dengan menyediakan produk yang lebih sehat, lezat, dan terjangkau, sembari memberdayakan konsumen dengan informasi yang benar,” tutup Dessy.
Dengan regulasi yang semakin ketat dan kesadaran konsumen yang terus berkembang, industri F&B di Indonesia dituntut untuk lebih adaptif, inovatif, dan berorientasi pada keberlanjutan. Dukungan teknologi dan pendekatan kolaboratif seperti yang ditawarkan IFF bisa menjadi kunci bagi para produsen untuk tetap relevan di tengah perubahan ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News