Reporter: Muhammad Julian | Editor: Tendi Mahadi
Senada, Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan bahwa upaya tindakan pengamanan juga perlu dibarengi dengan upaya perbaikan daya saing untuk menurunkan biaya produksi.
Menurutnya, industri tekstil saat ini tengah mengalami permasalahan daya saing akibat beban biaya usaha yang berada di luar kendali perusahaan seperti misalnya harga gas. Ia mencatat harga gas rata-rata yang musti dibayar oleh pelaku industri tekstil di sektor hulu berada di kisaran US$ 9,8 /mmbtu hingga US$ 10,6 / mmbtu.
Baca Juga: Mondelez Indonesia akan hadirkan berbagai produk dangan inovasi baru
Sementara itu biaya gas di negara-negara produsen tekstil lain memiliki harga yang lebih rendah. Fenomena ini dapat dijumpai pada negara-negara seperti Cina yang memiliki harga gas US$ 6,5/mmbtu, Vietnam US$ 7,5/mmbtu, dan US$ India US$ 4/mmbtu. Padahal, biaya gas memiliki porsi yang cukup besar dalam beban biaya produksi pelaku industri tekstil, yakni di kisaran 22%-25%.
Di samping itu, ia juga menilai bahwa selain menyasar produk hulu, upaya tindakan pengamanan juga perlu dikenakan pada produk-produk hilir seperti misalnya produk garmen. Pasalnya, kuat atau tidaknya industri produk tekstil di sektor hilir sangat mempengaruhi serapan tekstil di sektor hulu.
“Karena kalau hilirnya banjir impor maka safguard di hulu jadi akan percuma, demand dari hilirnya tidak ada,” jelas Redma kepada Kontan.co.id (4/12).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News