Reporter: Muhammad Julian | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belakangan ini pemberitaan media massa banyak diramaikan oleh berita mengenai pengenaan tindakan pengamanan alias safeguard terhadap importasi barang-barang tertentu yang dituangkan dalam peraturan menteri. Sebut saja, beberapa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) seperti PMK 153 tahun 2019, PMK 161 2019, PMK 162 tahun 2019, dan PMK 163 tahun 2019 misalnya.
Ketiga PMK ini dituangkan untuk melegitimasi upaya tindakan pengamanan ataupun pengamanan sementara terhadap barang-barang yang dinilai terancam atau dirugikan akibat lonjakan barang-barang impor seperti produk benang (selain benang jahit), dari serat stapel sintetik dan artifisial, produk kain,produk aluminium foil, dan lain-lain.
Baca Juga: Pasar mesin manufaktur di Indonesia masih gurih, pelaku industri rajin ikuti pameran
Lantas apakah yang dimaksud dengan tindakan pengamanan atawa safeguard itu? Secara sederhana, safeguard merupakan tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius yang diderita oleh industri dalam negeri akibat dari adanya lonjakan importasi barang tertentu.
Di Indonesia sendiri, tindakan pengamanan dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) maupun kuota. Hal ini diatur dalam Pasal 70 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antdumping, Tindakan Imbalan dan Tindakan Pengamanan Perdagangan.
Hak ini dijamin oleh World Trade Organization dalam Article XIX GATT 1994 sehingga bisa dilakukan ketika kerugian ataupun ancaman kerugian yang dialami oleh industri dalam negeri suatu negara tertentu dapat dibuktikan melalui penyelidikan oleh komite ataupun badan yang berwenang.
Baca Juga: Kinerja Sentra Food (FOOD) sampai kuartal III 2019 cenderung stagnan
Lalu apakah tindakan pengamanan semata sudah cukup untuk melindungi industri dalam negeri dari lonjakan impor? Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengatakan tindakan pengamanan bukan merupakan solusi dari segala permasalahan lonjakan impor.
Menurutnya, tindakan pengamanan sejatinya hanyalah merupakan mekanisme safe haven sementara dari persaingan dagang yang sehat dengan produk impor. Tujuannya tidak lain untuk memberikan waktu kepada produsen dalam negeri agar bisa meningkatkan daya saingnya di pasar.
Oleh karenanya, selagi tindakan pengamanan dilakukan, pemerintah dan pelaku sektor industri juga harus bekerja sama dengan lebih intens untuk membenahi faktor-faktor daya saing industri yang menyebabkan produk dalam negeri kalah bersaing. Hal ini bisa dilakukan misalnya dengan membicarakan struktur biaya produksi dari produk yang dilindungi melalui tindakan pengamanan.
Menurut Shinta, umumnya inefisiensi pada struktur biaya produksi bisa dipicu oleh dua faktor, yakni beban regulasi seperti maupun beban biaya usaha yang berada di luar kendali perusahaan seperti misalnya harga listrik, energi, maupun biaya tenaga kerja ataupun faktor internal dari perusahaan itu sendiri. Dengan demikian, persoalan daya saing seharusnya bisa terselesaikan apabila kedua faktor tersebut dibenahi.
Shinta juga menambahkan bahwa pendekatan yang dilakukan tidak bisa mengandalkan kaca mata yang terlalu general, sebab setiap sektor memiliki kebutuhannya sendiri serta struktur biaya yang berbeda. Pada industri tekstil misalnya, Shinta menilai salah satu penyebab utama inefisiensi pada industri tekstil terletak pada kurangnya investasi teknologi dan inovasi pertekstilan di dalam negeri.
Baca Juga: Ada tiga produk impor yang berpotensi merugikan industri dalam negeri, apa saja?
Ia mencatat banyak pabrik tekstil yang mesin produksinya sudah berusia lebih dari 10 tahun. Hal ini pada gilirannya menyebabkan penggunaan energi yang boros serta biaya maintenance yang tinggi sehingga revitalisasi mesin menjadi salah satu solusi untuk industri tekstil. Sementara itu, industri lain tentunya akan memiliki permasalahan yang berbeda serta membutuhkan solusi yang berbeda pula.
Sayangnya, biasanya setelah pengenaan tindakan pengamanan hampir tidak ada pembicaraan antara pemerintah dengan pelaku sektor untuk membenahi permasalahan daya saing produk tersebut.
“Karenanya kita tidak pernah naik kelas dan cenderung bergantung pada mekanisme safeguard untuk survive di pasar dalam negeri,” ujar Shinta kepada Kontan.co.id (4/12).
Senada, Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan bahwa upaya tindakan pengamanan juga perlu dibarengi dengan upaya perbaikan daya saing untuk menurunkan biaya produksi.
Menurutnya, industri tekstil saat ini tengah mengalami permasalahan daya saing akibat beban biaya usaha yang berada di luar kendali perusahaan seperti misalnya harga gas. Ia mencatat harga gas rata-rata yang musti dibayar oleh pelaku industri tekstil di sektor hulu berada di kisaran US$ 9,8 /mmbtu hingga US$ 10,6 / mmbtu.
Baca Juga: Mondelez Indonesia akan hadirkan berbagai produk dangan inovasi baru
Sementara itu biaya gas di negara-negara produsen tekstil lain memiliki harga yang lebih rendah. Fenomena ini dapat dijumpai pada negara-negara seperti Cina yang memiliki harga gas US$ 6,5/mmbtu, Vietnam US$ 7,5/mmbtu, dan US$ India US$ 4/mmbtu. Padahal, biaya gas memiliki porsi yang cukup besar dalam beban biaya produksi pelaku industri tekstil, yakni di kisaran 22%-25%.
Di samping itu, ia juga menilai bahwa selain menyasar produk hulu, upaya tindakan pengamanan juga perlu dikenakan pada produk-produk hilir seperti misalnya produk garmen. Pasalnya, kuat atau tidaknya industri produk tekstil di sektor hilir sangat mempengaruhi serapan tekstil di sektor hulu.
“Karena kalau hilirnya banjir impor maka safguard di hulu jadi akan percuma, demand dari hilirnya tidak ada,” jelas Redma kepada Kontan.co.id (4/12).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News