Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Para penambang komoditas tembaga bakal bernapas lega. Presiden Joko Widodo memang belum mengesahkan revisi Peraturan Pemerintah No. 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Mineral dan Batubara (Minerba). Berdasarkan surat tanggal 28 Desember 2016 yang diteken Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar, hanya konsentrat tembaga yang bisa mendapatkan relaksasi ekspor.
Sementara enam komoditas lain seperti nikel, bauksit, emas, timah, perak dan kromium belum mendapat peluang ekspor. Kepastian ini tertuang dalam isi surat Menteri ESDM kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tentang revisi aturan tersebut.
Bila ini diterapkan, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) terancam tidak bisa memanfaatkan hasil tambang nikel golongan rendah (low grade) 1,7% yang saat ini masih tertahan dalam tempat penimbunan (stockpile) berkapasitas 5 juta ton. "Terdapat potensi ekonomi yang belum bisa kami manfaatkan," kilah Trenggono Sutioso, Sekretaris Perusahaan Aneka Tambang, ke KONTAN, Minggu (8/1).
Prinsipnya, perusahaan pelat merah ini mendukung program hilirisasi bisa berjalan. Terbukti dari beberapa pabrik smelter nikel, emas dan alumina milik perusahaan ini sudah beroperasi.
Bila aturan tersebut sudah resmi, Antam bersiap membatasi penambangan nikel berkadar tinggi. Tujuannya, agar tercipta konservasi cadangan bijih nikel berkadar rendah.
Terkait rencana ke depan, perusahaan ini akan mencari mitra kerja strategis untuk mengembangkan teknologi pengolahan biji nikel kadar rendah yang lebih ekonomis. "Kami juga memerlukan kebijakan lain untuk menciptakan nilai tambah bijih nikel kadar rendah secara ekonomis dan memanfaatkan potensi bijih nikel yang terbatas," jelasnya.
Ketua Indonesian Mining Institute (IMI) Irwandy Arif menilai, keuntungan relaksasi ekspor cuma berlaku bagi pemegang kontrak karya (KK). "Termasuk pemerintah, baik pusat maupun daerah yang mendapatkan penerimaan negara berupa ekspor komoditas tersebut dari bea keluar," katanya kepada KONTAN (8/1).
Justru ia meragukan revisi aturan tersebut bisa mempercepat proses hilirisasi. Maklum, saat ini perusahaan tambang di Indonesia masih tergantung teknologi tambang yang sudah mapan. Apalagi ada komoditas yang masih ekspor, seperti tembaga.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) Ladjiman Damanik, meminta pemerintah bertindak adil atas rencana keputusan tersebut. Perusahaan tambang belum bisa menggarap proyek pemurnian, lantaran tak diserap pasar luar negeri. Kecuali para penambang mengekspor komoditas tambang mentah yang ada permintaannya. "Lebih baik memberi kesempatan ekspor komoditas low grade lima tahun atau tiga tahun," ujar Ladjiman.
Bila perusahaan tambang tidak mengekspor, perbankan enggan memberi pinjaman lantaran tidak ada rasa percaya. Padahal, modal merupakan salah satu poin bisa ekspansi bisnis. Ia mencontohkan, pemerintah memberikan izin ekspor mineral ke PT Freeport Indonesia. "Freeport bisa ekspor konsentrat, kenapa kami tidak," tegasnya.
Jurubicara PT Freeport Indonesia (PTFI), Riza Pratama enggan berkomentar banyak, karena masih menunggu realisasi aturan tersebut. "Kami menunggu arahan pemerintah selanjutnya. Dan akan berkerja sebaik-baiknya dengan pemerintah," katanya kepada KONTAN (8/1).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News