Reporter: Oginawa R Prayogo | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Dalam pekan ini, terjadi kejadian yang menyiratkan kurangnya komunikasi dan koordinasi yang terjadi antara dua badan usaha milik negara (BUMN), yakni PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan operator bandara, PT Angkasa Pura II (Persero).
Ceritanya, pada pekan ini Garuda membatalkan rute penerbangan Jakarta - London dengan alasan landasan di Bandara Soekarno-Hatta belum mencukupi untuk dilandasi pesawat Boeing 777-300 ER. Hal itu direspon Angkasa Pura II dengan jawaban, bahwa itu menunjukkan kurang koordinasi antar instansi.
Dahlan Iskan, Menteri BUMN pun ikut berkomentar tentang hal ini. "Ya, AP II harus lebih sabar jika pernyataan Garuda yang seolah menyalahkan AP II. Garuda pun harus lebih sabar karena harus mengalihkan pesawatnya," ujarnya kepada wartawan di kantornya, Jumat (2/8).
Dahlan juga memahami keadaan dua BUMN itu. Pertama, dia paham keadaan bandara di wilayah AP II dan yang ada Indonesia masih terbatas fasilitasnya. Bukan hanya fasilitas, tapi juga kapasitas yang terbatas.
Kedua, Dahlan memahami keinginan Garuda untuk membuka rute penerbangan baru dengan pesawat berbadan lebar. Karena dianggap hal itu bagian dari ekspansi perusahaan.
Sebelumnya, Kamis lalu (1/8), Tri Sunoko, Dirut AP II menyampaikan bahwa kejadian itu terjadi karena kurangnya komunikasi dan koordinasi. "Sepertinya kami kurang ngobrol dan ngopi-ngopi," ujar Tri sambil tertawa.
Sambil bercanda, Tri menjelaskan, bahwa kejadian ini ibarat ada penghuni rumah yang tahu bahwa rumahnya bertipe 21 (kecil) tapi mengisi rumahnya dengan peralatan yang besar.
Sebelumnya, Emirsyah Satar, Dirut Garuda membatalkan operasi secara "full capacity" penerbangan langsung Jakarta - London (non-stop) dengan mengangkut 314 penumpang (8 first class, 38 business class, 268 economy class) dan kargo sebanyak 11 ton (maximum take-off weight seberat 351.534 kg).
Alasannya, pesawat B 777-300ER berbadan jumbo itu memerlukan kualitas landasan yang lebih baik dari kualitas landasan yang ada di bandara Soekarno-Hatta sekarang ini. “Dengan kondisi itu, maka akan terjadi "restricted take-off weight" sebesar 329.365 kg,” kata Emirsyah.
Jika dipaksakan kata Emirsyah, pesawat harus mengurangi 39 penumpang dan tidak boleh membawa kargo pada setiap penerbangan. Jika dilakukan, maka akan banyak potensi kerugian dari Garuda.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News