kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Dalam Omnibus Law, Kementerian ESDM ingin mengambil alih pengaturan toll fee gas bumi


Sabtu, 03 Oktober 2020 / 08:15 WIB
Dalam Omnibus Law, Kementerian ESDM ingin mengambil alih pengaturan toll fee gas bumi


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta adanya pengalihan kewenangan dalam menetapkan tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa alias toll fee. Saat ini, penetapan toll fee menjadi kewenangan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).

Menteri ESDM Arifin Tasrif meminta agar kewenangan penetapan toll fee bisa dialihkan dari BPH Migas ke Kementerian ESDM. Berdasarkan surat Menteri ESDM kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang didapat oleh Kontan.co.id, Arifin mengusulkan agar pengalihan kewenangan tersebut bisa dilakukan melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja alias omnibus law.

"Kami mengusulkan pengalihan kewenangan penetapan toll fee gas bumi melalui pipa yang sebelumnya ditetapkan oleh BPH Migas sesuai Pasal 46 ayat 3 huruf d UU Nomor 22 tahun 2001 tentang migas, menjadi ditetapkan oleh Menteri ESDM dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Presiden," sebut Arifin, sebagaimana dikutip Kontan.co.id, Jum'at (2/10).

Arifin berdalih, pengalihan kewenangan penetapan toll fee tersebut dimaksudkan untuk efektivitas penetapan harga gas bumi untuk industri di titik serah konsumen (plant gate). Hal itu untuk mendorong implementasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 tahun 2016 tentang penetapan harga gas bumi, dan juga telah diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2020 tentang tata cara penetapan pengguna dan harga gas bumi tertentu di bidang industri.

Arifin mengklaim, hal tersebut untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing industri nasional melalui pemanfaatan gas bumi. "Sehubungan dengan hal tersebut, kami mohon perkenan Bapak Menteri Koordinator untuk dapat memasukkan usulan pengalihan kewenangan dimaksud pada substansi RUU Cipta Kerja (omnibus law) klaster minyak dan gas bumi," pinta Arifin dalam surat tertanggal 2 Mei 2020 tersebut.

Baca Juga: Grasberg Open Pit habis, Freeport siapkan Rp 6 triliun untuk menutup seluruh tambang

Permintaan Kementerian ESDM untuk mengambil alihan kewenangan penetapan toll fee dari BPH Migas ini sempat dibuka oleh Anggota Komisi VII DPR RI Ridwan Hisjam dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Selasa (29/9) lalu. Menurutnya, permintaan tersebut juga sudah disampaikan kepada Badan Legislasi (Baleg) dalam penyusunan omnibus law.

"Saya mendapat informasi dan juga membaca surat dari pemerintah ke Baleg. Di situ Kementerian ESDM meminta agar keputusan menentukan toll fee ditetapkan oleh Menteri, sedangkan di dalam UU Migas yang menentukan toll fee adalah BPH Migas," sebut Ridwan.

Dia pun mempertanyakan dasar permintaan dari Kementerian ESDM tersebut. Baginya, pengalihan kewenangan itu tidak sejalan dengan semangat yang diatur dalam UU Migas. Ridwan yang ikut menyusun UU Migas menjelaskan bahwa penetapan toll fee oleh BPH Migas lebih ideal lantaran bersifat independen.

Sebab menurutnya, penetapan toll fee mesti mengakomodasi kepentingan pelaku usaha, masyarakat dan juga pemerintah. "Pertimbangannya kenapa kita berikan kepada BPH (penetapan toll fee), karena BPH adalah independen, dipilih oleh DPR atas usulan pemerintah. Kalau harus ditentukan oleh ESDM, maka itu tidak senafas dengan UU Migas," jelas Ridwan.

Dia malah melihat upaya pengambilalihan kewenangan ini sebagai bentuk buruknya komunikasi yang terjalin antara Kementerian ESDM dengan BPH Migas. "Apa ada kendala dengan BPH Migas ini? apa lobi-lobi-nya kurang baik atau bagaimana sehingga harus ditarik ke pemerintah? kalau kurang baik, mohon disesuaikan lah," tutur Ridwan.

Pelaksana tugas Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Ego Syahrial tidak menjawab secara terbuka pertanyaan dari Ridwan Hisjam tersebut. Ego hanya berdalih, akan menampung masukan dari anggota dewan dalam rangka penyempurnaan tata kelola hilir migas.

"Saya rasa masukannya sangat konkret sekali, yang memang sebenarnya juga mendorong kami untuk menyempurnakan tata kelola hilir migas," ungkap Ego.

Dia mengklaim, penyempurnaan tata kelola hilir migas tersebut utamanya untuk mengimplementasikan harga gas industri yang kompetitif, agar bisa seharga US$ 6 per mmbtu. Ego mengakui, saat ini penerapannya memang belum 100% terlaksana.

"Kalau dikatakan sempurna, memang terus terang kami dalam proses untuk menyelesaikan itu. Secara garis besar dapat kami sampaikan, hampir 95% dari target 7 industri yang diamanatkan oleh Perpres 40/2016 sudah kita implementasikan," terang Ego.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa menjelaskan bahwa pengambilan keputusan, termasuk dalam penetapan toll fee, merupakan hasil rapat komite. Fanshurullah menggambarkan 9 komite dalam BPH Migas itu bersifat independen sebagaimana hakim di Mahkamah Konstitusi (MK), komisioner KPU atau pun OJK.

Fanshurullah mencontohkan saat penetapan toll fee untuk ruas SSWJ, pihaknya melibatkan stakeholders seperti transporter, shipper, KPPU konsumen dan juga Ditjen Migas KESDM. Hasilnya, tiga kali dinyatakan deadlock dan harus mengambil keputusan komite berdasarkan voting.

"Saya sebagai Kepala BPH Migas mesti menerima keputusan mayoritas daripada sidang komite. Ya mungkin itu belum tentu sesuai dengan semangat yang ada di Kementerian ESDM," sebut Ifan, sapaan akrab Fanshurullah.

Baca Juga: Meski Eni Jadi Kandidat Kuat, Sejumlah Tantangan Proyek IDD di Depan Mata

Kendati begitu, Ifan memastikan bahwa keputusan yang diambil telah berdasarkan aturan main yang ada serta tahapan yang jelas. Termasuk dengan penilaian yang komprehensif seperti perhitungan belanja modal atau capital expenditure (capex). Dia bilang, pihaknya punĀ  menunjuk konsultan penilai investasi, menggelar konsultasi publik (public hiring) dan menjalankan tahapan lainnya.

Dengan begitu, Ifan mengklaim proses pengambilan keputusan di BPH Migas bisa lebih transparan dibandingkan dengan yang diatur oleh kementerian. "Mohon maaf, belum tentu keputusan kementerian atau Permen (Peraturan Menteri) sampai begini ketatnya dalam mengambil keputusan. Itu yang kami jaga, untuk membuat aturan main dan semangat ini selalu mencerminkan akuntabilitas dan transparansi," pungkas Ifan.

Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno berpandangan bahwa usulan tersebut masih dalam pembahasan dan belum diputuskan. Menurutnya, penetapan toll fee oleh BPH Migas masih relevan sebagaimana yang diatur dalam UU Migas.

Sebab, selama ini BPH Migas dinilai memahami secara lebih detail tata pelaksanaan, kondisi komersial, dan keekonomian niaga dari para pelaku usaha di hilir migas. "Oleh karena itu kami berpandangan bahwa efektivitas dari BPH Migas dalam menetapkan toll fee masih relevan," kata Eddy saat dihubungi Kontan.co.id, Jum'at (2/10).

Selanjutnya: Antam gandeng Pemda Papua garap tambang emas Wabu, estimasi capex US$ 1,4 miliar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×