Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dampak dari terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan No. 84 tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun Sebagai Bahan Baku Industri mulai dirasakan industri berbahan baku daur ulang. Industri kertas, plastik hingga baja adalah beberapa industri yang menggunakan bahan baku daur ulang yang diimpor.
Ketentuan teknis dalam Permendag 84/2019 tidak dapat diimplementasikan sehingga menghambat importasi bahan baku daur ulang. Ketentuan yang mengharuskan importasi bahan baku yang dikategorikan sebagai limbah non Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) itu harus memenuhi persyaratan homogen, bersih, dan eksportirnya terdaftar di negara asal sulit dipenuhi oleh para eksportir luar negeri.
Baca Juga: Ini rencana bisnis dan ekspansi Bakrie & Brothers (BNBR) tahun depan
Persyaratan yang diminta oleh Permendag 84 itu dinilai berlebihan, melebihi standar internasional dan sulit dipenuhi. Selain itu juga mengatur cara pengangkutan bahan-baku yang masuk ke Indonesia harus pula melalui pengapalan langsung (direct shipment), yang di dunia pelayaran sulit dan tidak lazim.
Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia, Aryan Warga Dalam menyebut aturan teknis dalam Permendag ini juga multi tafsir sehingga berpotensi terjadi persoalan di lapangan.
"Mengapa kita tidak menggunakan standar internasional yang berlaku di banyak negara. Kesulitan memenuhi ketentuan teknis dari Indonesia ini mengakibatkan eksportir enggan menjual barangnya ke Indonesia karena lebih mudah mengekspor ke negara lainnya. Kesempatan ini menguntungkan pesaing kita seperti industri di Malaysia, Vietnam dan India," katanya.
Keluhan asosiasi industri berbahan baku daur ulang ini sebetulnya sudah lama disampaikan namun baru hari Senin tanggal 9 Desember 2019 yang lalu ditanggapi oleh Pemerintah dengan mengundang asosiasi rapat di Kementerian Perindustrian.
Baca Juga: Saka Energi dan Petronas masih diskusikan pelepasan operatorship Lapangan Kepodang
Rapat lintas Kementerian dan Lembaga sudah dilaksanakan namun sayangnya solusi yang dijanjikan itu tidak pernah kunjung datang. Hari-hari terakhir ini keluhan dari lebih 45 Anggota APKI bermunculan, mereka menanyakan soal solusinya.
Liana Bratasida Direktur Eksekutif APKI menyebut ancaman PHK dan berhenti berproduksi sudah didepan mata.
Keluhan yang sama juga disampaikan oleh asosiasi baja dan logam serta plastik sebagaimana yang disampaikan dalam rapat dengan Pemerintah. Ironisnya ditengah kita dipacu untuk meningkatkan ekspor, malah aturan yang kita buat sendiri cenderung mematikan industri karena kesulitan bahan baku.