kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Dampak Permendag 84/2019, industri berbahan baku daur ulang mengaku terancam tutup


Minggu, 15 Desember 2019 / 10:44 WIB
Dampak Permendag 84/2019, industri berbahan baku daur ulang mengaku terancam tutup
ILUSTRASI. Tumpukan sampah kertas yang diimpor oleh sebuah perusahaan pabrik kertas sebagai bahan baku kertas di Mojokerto, Jawa Timur, Rabu (19/6/2019). Dampak Permendag 84/2019, industri berbahan baku daur ulang mengaku terancam tutup. ANTARA FOTO/Zabur Karuru/wsj


Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dampak dari terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan No. 84 tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun Sebagai Bahan Baku Industri mulai dirasakan industri berbahan baku daur ulang. Industri kertas, plastik hingga baja adalah beberapa industri yang menggunakan bahan baku daur ulang yang diimpor. 

Ketentuan teknis dalam Permendag 84/2019 tidak dapat diimplementasikan sehingga menghambat importasi bahan baku daur ulang. Ketentuan yang mengharuskan importasi bahan baku yang dikategorikan sebagai limbah non Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) itu harus memenuhi persyaratan homogen, bersih, dan eksportirnya terdaftar di negara asal sulit dipenuhi oleh para eksportir luar negeri. 

Baca Juga: Ini rencana bisnis dan ekspansi Bakrie & Brothers (BNBR) tahun depan

Persyaratan yang diminta oleh Permendag 84 itu dinilai berlebihan, melebihi standar internasional dan sulit dipenuhi. Selain itu juga mengatur cara pengangkutan bahan-baku yang masuk ke Indonesia harus pula melalui pengapalan langsung (direct shipment), yang di dunia pelayaran sulit dan tidak lazim. 

Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia, Aryan Warga Dalam menyebut aturan teknis dalam Permendag ini juga multi tafsir sehingga berpotensi terjadi persoalan di lapangan. 

"Mengapa kita tidak menggunakan standar internasional yang berlaku di banyak negara. Kesulitan memenuhi ketentuan teknis dari Indonesia ini mengakibatkan  eksportir enggan menjual barangnya ke Indonesia karena lebih mudah mengekspor ke negara lainnya. Kesempatan ini menguntungkan pesaing kita seperti industri di Malaysia, Vietnam dan India," katanya.
 
Keluhan asosiasi industri berbahan baku daur ulang ini sebetulnya sudah lama disampaikan namun baru hari Senin tanggal 9 Desember 2019 yang lalu ditanggapi oleh Pemerintah dengan mengundang asosiasi rapat di Kementerian Perindustrian. 

Baca Juga: Saka Energi dan Petronas masih diskusikan pelepasan operatorship Lapangan Kepodang

Rapat lintas Kementerian dan Lembaga sudah dilaksanakan namun sayangnya solusi yang dijanjikan itu tidak pernah kunjung datang. Hari-hari terakhir ini keluhan dari lebih 45 Anggota APKI bermunculan, mereka menanyakan soal solusinya. 

Liana Bratasida Direktur Eksekutif APKI menyebut ancaman PHK dan berhenti berproduksi sudah didepan mata.

Keluhan yang sama juga disampaikan oleh asosiasi baja dan logam serta plastik sebagaimana yang disampaikan dalam rapat dengan Pemerintah. Ironisnya  ditengah kita dipacu untuk meningkatkan ekspor, malah aturan yang kita buat sendiri cenderung mematikan industri karena kesulitan bahan baku.

Terbitnya Permendag 84/2019 ini sebetulnya sudah bermasalah dari awal. Permendag ini terbit ditandatangani pada tanggal 18 Oktober,sebagai pengganti Permendag 31 tahun 2016. Industri tidak siap karena masa transisi kedua Permendag ini hanya satu bulan, sementara banyak proses importasi yang sedang berjalan. Sejak tanggal 22 Nopember, Inspeksi atas Verification Order (VO) tidak dapat dilaksanakan oleh surveyor (dalam hal ini KSO Sucofindo-Suveryor Indonesia dan mitranya di luar negeri) sebagai kepanjangan tangan pemerintah untuk melakukan verifikasi atas barang-barang impor. 

Jika tidak ada inspeksi oleh mitra KSO di luar negeri maka tidak ada Laporan Surveryor (LS) dan tidak ada pengapalan barang. Ini yang terjadi saat ini, karena KSO tidak dapat melakukan kegiatan karena surat penunjukannya dari Menteri Perdagangan belum diperbaharui sesuai dengan Permendag 84 yang baru. 

Ditambahkan juga bahwa minggu-minggu ini sudah akan memasuki liburan Natal dan Tahun Baru, dikhawatirkan inspeksi juga akan terkendala, sehingga ancaman ketersediaan bahan baku menjadi kenyataan. "Banyak industri yang ketersediaan bahan bakunya hanya sampai Januari 2020, dan setelah itu jika tak ada barang masuk maka kami akan berhenti berproduksi, kontrak-kontrak akan dibatalkan kemudian  banjirlah produk-produk jadi impor mengisi pasar-pasar kami. Inilah awal dari kematian industri kami, demikian keluhan yang diterima oleh saya hari-hari ini," kata Liana.

Baca Juga: KRAS kerjasama dengan Lotte terkait lahan industri
 
Asosiasi betul-betul sangat berharap pemerintah dapat mencari solusi yang cepat dan tepat atas situasi ini. Permendag 84 ini praktis tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Permendag yang diperintahkan Presiden terbit sebagai revisi atas Permendag 31/2016 sebelumnya justru tidak berfungsi seperti yang diharapkan.

Rakortas di Bogor yang dipimpin Presiden Jokowi bulan Agustus 2019 yang lalu yang menekankan pentingnya menyeimbangkan kepentingan lingkungan dan ekonomi hanya harapan belaka. Permendag ini tidak menjamin lingkungannya akan lebih baik, tetapi industrinya  pasti akan mati, alih-alih meningkatkan ekspor malah kematian yang akan kita jelang, demikian yang disampaikan pelaku usaha dalam rapat dengan Kementerian terkait.

Wakil Ketua Umum IISIA, Ismail Mandry mengatakan, Permendag 84 mengancam industri baja nasional. Saat ini, ada 35 industri baja dalam negeri yang menggunakan skrap baja untuk bahan baku. “Jika dilarang impor scrap habis sudah industri baja,” ujarnya. 

Selain itu, aturan ini bertentangan dengan tata niaga luar negeri. Apalagi, terkait pasokan bahan baku ini, Indonesia bersaing dengan negara ASEAN. "Kenapa aturan ini bermasalah? Karena sejak awal tidak melibatkan industri terkait. Sosialisasi juga tidak. Karena itu, aturan ini harus direvisi. Sekarang Kementerian Perdagangan katanya sedang merevisinya, kita tunggu hasilnya," pungkasnya.

Baca Juga: Industri manufaktur sumbang loan at risk terbesar bank

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×