Reporter: Sandy Baskoro, Merlinda Riska | Editor: Sandy Baskoro
JAKARTA. Sekilas, mendengar nama PT Arwana Citramulia Tbk, orang awam akan menduga ini adalah perusahaan perikanan, khususnya ikan Arwana. Jangan salah, Arwana yang satu ini adalah produsen keramik lokal yang terbilang sukses.
Berdiri pada 1993 dengan segelintir karyawan, kini Arwana menjadi perusahaan publik yang memiliki 1.700 karyawan, 46 sub distributor dan 15.669 gerai yang tersebar di tujuh provinsi di Indonesia. Per Jumat (22/2), bertepatan dengan hari ulang tahun ke-20, Arwana mencatatkan
kapitalisasi pasar lebih dari Rp 3 triliun di Bursa Efek Indonesia.
Kiprah Arwana di bisnis keramik tak bisa dilepaskan dari tangan dingin Tandean Rustandy. Pria kelahiran Pontianak pada Desember 1965 inilah yang membawa Arwana menjadi perusahaan keramik lokal mumpuni.
Tapi tidak dalam satu malam Tandean membesarkan Arwana. Kisah getir perjuangan menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan Tandean membangun Arwana.
Tandean lahir di Pontianak dari keluarga biasa. Anak kedua dari tiga bersaudara ini beruntung memiliki orangtua yang mengerti arti penting pendidikan. Menunggak bayaran sekolah bukan hal aneh bagi keluarga Tandean. Tapi berbekal kemauan dan dorongan orangtua, dia gigih menimba ilmu.
Ketika orangtua Tandean punya rezeki cukup, bukan langsung membangun rumah yang ada dalam benak mereka, tapi menyekolahkan anaknya.
Pada 1977, Tandean mengenyam pendidikan SMP di Singapura dan melanjutkan SMA di Toronto, Kanada.
Meski bersekolah di luar negeri dan masih dibiayai orangtua, hidup Tandean di negeri rantau sangat pas-pasan. "Ibu mengirim saya sekolah ke luar negeri dengan one way ticket. Artinya, bisa pergi, tidak bisa pulang. Saya harus pandai-pandai mengatur uang agar bisa tetap bertahan," bapak dua anak ini mengenang.
Di negara orang, Tandean gigih mencari biaya tambahan demi mempertahankan hidup. Sambil meneruskan kuliah di Universitas Colorado, Amerika Serikat, pada 1984, Tandean bekerja dari pagi, siang dan malam hari. Pagi hari dari pukul lima hingga tujuh, Tandean mencuci piring di kafetaria asrama kampusnya. Saat jam makan siang, Tandean siap menjadi tukang catat di kafetaria itu. Di malam hari, pria bertubuh mungil ini menjadi pekerja lepas di perpustakaan kampusnya.
Praktis, selama kuliah di AS, Tandean bekerja paruh waktu hingga 50 jam dalam seminggu. Meski sibuk mencari uang demi kebutuhan hidup, prestasi akademik Tandean sangat memuaskan. Dia berhasil lulus dalam tempo dua tahun sembilan bulan. Umumnya mahasiswa setempat lulus dalam waktu empat tahun. Tandean pun berhasil meraih honorary citizen order (gelar warga kehormatan) di kampusnya.
Pada 1987, setelah lulus kuliah, Tandean kembali ke Indonesia. Dia pulang ke kampungnya, Pontianak, dan bekerja di perusahaan kayu.
Naluri bisnis Tandean sangat kuat, hingga pada 1990, Tandean memutuskan berbisnis trading kayu dan hasil hutan lainnya.
Tiga tahun kemudian, pada 1993, Tandean mulai berbisnis keramik dengan merek dagang Arwana. Ini bukanlah nama ikan, tapi kepanjangan dari Arab, Jawa dan China. Tandean adalah warga Pontianak keturunan China, sedangkan dua orang lagi, Arab dan Jawa, adalah teman Tandean saat
kuliah. Ketika kuliah, adalah hal biasa menyapa teman bukan berdasarkan nama, tapi mengacu ke suku bangsa.
Mulanya, teman Tandean yang orang Arab itu, memang berjualan keramik di sebuah toko di kawasan Percetakan Negara, Jakarta Pusat. Tandean
ditawari bergabung. Dengan kekuatan manajemen dan jaringan di bank, Tandean akhirnya ikut terlibat membangun Arwana.
Pabrik Arwana berdiri di Tangerang, Banten. Berbekal modal awal dari Bank BNI senilai Rp 25 miliar. Dari jumlah itu, dana Rp 17 miliar digunakan untuk membangun pabrik pertama Arwana di Tangerang. Pabrik ini beroperasi pada Juni 1995.
Arwana terus ekspansif. Pada 1997, setahun sebelum krisis moneter, perusahaan ini mengoperasikan pabrik kedua di Serang, Banten.
Masa-masa sulit itu akhirnya datang juga. Krisis 1998 memukul telak Arwana. Perusahaan ini menderita kerugian dan meninggalkan banyak utang.
Di masa suram itu, Arwana menjual keramik hanya US$ 1,5 atau Rp 15.000 per meter persegi. Sebelum krisis, keramik dihargai US$ 5,5 per m2.
"Bayangkan, berapa margin yang terpangkas," ungkap Tandean.
Meski terpuruk, Tandean tak lantas menutup pabriknya. Sebab ada 300 pekerja yang menggantungkan hidupnya dari Arwana. Tandean melobi kreditur untuk meminta penangguhan pembayaran utang. "Saya pernah merasakan sulitnya mencari sesuap nasi. Jadi, saya tidak mau mem-PHK
karyawan atau memotong gaji mereka," tutur Tandean.
Krisis 1998 menjadi titik balik perjalanan Arwana, Dengan kerja keras dan kesabaran manajemen dan karyawan, Arwana kembali bangkit dan mencetak untung. Hingga pada 2001, Arwana memasuki lembaran baru, dengan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia.
Kapitalisasi pasar Arwana terus membesar. Ketika masuk bursa pada 2001, Arwana hanya mencatatkan kapitalisasi Rp 15 miliar. Kini, kapitalisasi emiten berkode saham ARNA tersebut sudah mencapai Rp 3,45 triliun. Dus, harga sahamnya meningkat berkali lipat.
Dengan masuk bursa saham, Arwana tak sekadar mencari akses pendanaan, melainkan untuk semata-mata transparansi. Tandean mendirikan Arwana memang ingin menjadikannya sebagai perusahaan publik, bukan perusahaan keluarga. Oleh karena itu, dia tak berpikir dua anaknya yang kini bersekolah di Amerika Serikat, kelak memegang tongkat estafet di Arwana.
Di tangan Tandean, kinerja Arwana memang cukup kinclong. Laba bersih Arwana setiap tahun rata-rata tumbuh dua digit. Bahkan, manajemen
memproyeksikan laba bersih 2012 tumbuh lebih dari 60% year-on-year menjadi Rp 155 miliar.
Pada Juli tahun ini, Arwana berniat mengoperasikan pabriknya yang keempat. Pabrik keramik yang berlokasi di Palembang ini berkapasitas 8 juta m2 per tahun. Dus, total kapasitas produksi Arwana pada 2013 mencapai 49,37 juta m2 per tahun. Jumlah ini tumbuh 19% dari estimasi kapasitas produksi 2012 yang mencapai 41,37 juta m2. Kapasitas pabrik Arwana setara 17%-18% dari total kebutuhan keramik nasional yang mencapai 270 juta m2 hingga 300 juta m2.
Tandean menerapkan sejumlah jurus untuk membesarkan Arwana. Salah satunya memperkuat kapasitas sumber daya manusia. Prinsipnya adalah
memanusiakan manusia. Tandean tak pernah membedakan karyawan, gayanya juga egaliter. "Di Arwana, kami tidak memerlukan superhuman, yang kami butuhkan adalah superteam," ungkap dia.
Melihat kinerja Arwana, bukan hanya pemodal dalam negeri yang melirik, investor asing juga terpikat. Dia tak menyangkal sejumlah investor asing, seperti Siam Cement Group, produsen keramik terbesar di dunia asal Thailand, pernah menawar Arwana. Tapi Tandean enggan menjualnya. Dia ingin Arwana menjadi aset lokal dan terus berkontribusi bagi masyarakat.
Arwana optimistis menghadapi persaingan di industri keramik nasional. Langkah Arwana akan tetap menjadi acuan pemain lain, termasuk dalam hal
menaikkan harga jual keramik. Pemain keramik lain tidak akan berani mengerek harga jual, mendahului Arwana. Dengan menyasar pasar menengah ke bawah, Arwana menjadi salah satu pemain lokal yang disegani asing.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News