Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Rizki Caturini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah masih menggodok aturan pajak kontrak bagi hasil gross split. Namun di tengah pembahasan ini, muncul kekhawatiran dari pelaku usaha minyak dan gas (migas) yang nantinya akan memberatkan pelaku usaha di sektor hulu.
Dalam dokumen usulan Indonesian Petroleum Association (IPA) yang dimiliki KONTAN, ada kekhawatiran terkait rencana penerapan penghasilan yang dianggap mengguntungkan (norma khusus) atau deemed profit. Kekhawatiran IPA ini disampaikan ke Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), SKK Migas, hingga Ditjen Migas.
Metode ini dinilai akan berpotensi meningkatkan beban ekonomi kontraktor, karena persentase deemed profit yang sama tidak dapat menggambarkan seluruh karakteristik unit wilayah kerja Migas. Selain itu, metode deemed profit juga bisa berdampak pada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), yang harus membayar pajak meski masih pada posisi merugi.
Metode deemed profit juga bisa berdampak pada pembayaran pajak ganda pada pendapatan yang sama mengingat otoritas di negara asal berpotensi menolak pembayaran pajak penghasilan di Indonesia sebagai tax credit di negara asal. IPA juga sangat berharap pemerintah Indonesia mempertimbangkan untuk tetap mempertahankan rezim pajak yang saat ini berlaku di sektor migas.
Gayung bersambut, pemerintah mengakomodir usulan IPA. Direktur Pembinaan Hulu Migas Kementerian ESDM, Tunggal bilang metode deemed profit tidak akan diterapkan dalam aturan pajak gross split. "Kita tidak usah bicara itu, karena kata Pak Wamenkeu deemed profit dilupakan, sudah tidak bicara itu lagi. Kami bicara pajak yang biasa, tapi pajak untuk bidang migas," jelas Tunggal, Senin (2/10).
Tunggal menjelaskan, dalam metode deemed profit asumsi pendapatan ditetapkan. Misalnya pendapatan sebuah perusahaan sebesar 100, maka bisa ditetapkan menjadi 50. Dengan begitu pajak yang dikenakan hanya pada pendapatan 50 bukan 100.
Pembebasan pajak
Metode ini tidak akan diterapkan dalam pajak gross split, karena menurut Tunggal tidak sejalan dengan skema kontrak bagi hasil gross split yang tidak lagi menggunakan asumsi. "Jadi tidak usah dihitung diasumsi. Pokoknya split di awal," ujar Tunggal.
Selain itu, metode deemed profit tidak bisa diterapkan kepada perusahaan migas asing di Indonesia. Pasalnya tidak semua perusahaan asing berasal dari negara yang menetapkan tax treaty. "Masalahnya ada (perusahaan) yang sudah ada perjanjian (tax treaty), ada yang enggak. Itu bisa diterima atau tidak, itu masalah aturan perpajakan," kata Tunggal
Saat ini pemerintah lebih fokus pada permintaan IPA untuk membebaskan pajak baik pada masa eksplorasi maupun eksploitasi. Kementerian ESDM pun memberikan lampu hijau atas permintaan IPA ini.
Namun Kementerian Keuangan masih belum setuju atas usulan tersebut. "Kalau di PP 27 kan ada kata-kata dapat diberikan. Kalau ini langsung diberikan, tapi belum tentu pajak setuju juga," ungkap Tunggal.
Selain itu, pemerintah juga masih belum sepakat menentukan batas waktu dalam metode loss carry forward. Dalam aturan pajak, batas waktu untuk loss carry forward hanya selama lima tahun. Sementara kegiatan ekplorasi bisa berlangsung selama 10 tahun-15 tahun.
Makanya Kementerian ESDM akan melaksanakan pertemuan dengan pihak terkait untuk membahas mengenai peraturan pajak gross split tersebut pada Rabu (4/10). "Tadi Wamen meminta meng undang BKF lagi ke ESDM pada Rabu nanti membicarakan progres sampai dimana, kan belum diputuskan," ujar Tunggal.
Sebelumnya, Wakil Kementerian Keuangan (Kemkeu) Mardiasmo menyatakan, akan membuat aturan yang mengadopsi Peraturan Pemerintah Nomor 27/2017. Dengan begitu, pemerintah tidak akan mengenakan pajak selama masa eksplorasi.
Sementara di masa eksploitasi, pemerintah hanya akan mengenakan pajak ketika sudah mencapai masa keekonomian. Ini berarti ketika masa awal produksi, para kontraktor tidak membayar indirect tax seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Namun rancangan peraturan tersebut masih bertentangan dengan usulan investor. Mardiasmo menyatakan, investor ingin selama masa eksplorasi dan eksploitasi tidak terkena pajak. Ia menjelaskan, pemerintah tetap ingin mengenakan pajak selama masa eksploitasi, tapi hanya ketika perusahaan sudah mencapai keekonomian proyek.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News