Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor minyak dan gas (migas) masih menjadi penyumbang terbesar defisit neraca perdagangan Indonesia. Sepanjang tahun 2018, defisit migas tercatat sebesar US$ 12,4 miliar.
Melihat hal tersebut, Sekretaris Jenderal Asosiasi Daerah Penghasil Migas Andang Bachtiar menilai defisit migas ini masih akan terus terjadi dalam waktu dekat ini. Sebab, masih ada sejumlah persoalan yang masih mengganjal sektor migas tanah air. "Kalau jangka pendek kayaknya masih akan babak belur deh," kata Andang, Kamis (17/1).
Apalagi, lanjut Andang, impor minyak mentah dan Bahan Bakar Minyak (BBM) terus mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya permintaan BBM dalam negeri. Namun, hal itu berkebalikan dengan semakin turunnya produksi minyak mentah. "Upaya-upaya substitusi BBM dengan BBG (Bahan Bakar Gas) dan BBN (Bahan Bakar Nabati) belum berjalan optimal," paparnya.
Sektor migas tanah air semakin diperparah dengan pembangunan kilang baru yang nihil, serta peningkatan kapasitas kilang lama dan pembangunan jaringan gas yang belum menunjukkan kemajuan berarti selama empat tahun terakhir.
Andang menilai, implementasi Refinery Development Master Plan (RDMP) berupa pengembangan kapsitas kilang Cilacap, Plaju, Balongan, Dumai, dan Balikpapan dengan investasi Rp 246 triliun berjalan sangat lambat. "Keseluruhan program RDMP sepertinya tidak akan selesai pada tahun 2022," ungkapnya.
Pembangunan kilang yang lambat bisa membahayakan ketahanan energi nasional. Karenanya, Andang meminta supaya pemerintah bisa segera mempercepatnya, termasuk dengan menetapkan pembangunan kilang sebagai infrastruktur ekonomi yang dibangun pemerintah tanpa menghitung Internal Rate of Return (IRR).
Hal tersebut bisa dilakukan sebagaimana pemerintah membangun pelabuhan, membeli alutsista, membangun jalan non-tol, jembatan dan sejenisnya. "Jadi kan itu infrastruktur yang menunjang ekonomi. Pemerintah bangun, nanti serahkan ke Pertamina suruh operated," kata Andang.
Menurutnya, jika tidak ada terobosan dan percepatan pembangunan kilang, maka Indonesia akan sulit terlepas dari ketergantungan impor BBM. Salah satunya terhadap kilang di Singapura yang memiliki kapasitas hingga 1,5 juta barel per hari (bph). Padahal, konsumsi BBM Indonesia rata-rata berkisar 1,5 juta hingga 1,6 juta bph.
"Bisa bebas ketergantungan BBM dari luar. Walaupun produksi minyak mentah kita ini nggak cukup, minimum impor crude aja, nggak usah impor BBM yang lebih mahal daripada impor creude," terang Andang.
Apalagi, impor tahun 2025 diproyeksikan dapat meningkat tiga kali lipat dibandingkan saat ini. "Jadi ini pekerjaan rumah besar, karena impor kita di 2025 tiga kali lipat dari yang sekarang," tambahnya.
Namun, Andang cukup mengapresiasi sejumlah kebijakan yang mulai dijalankan untuk berupaya menekan impor minyak. Seperti penjualan minyak jatah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) kepada Pertamina.
"Bagus sudah menginisiasi dan mengeksekusi pembelian minyak jatah KKKS ke Pertamina, artinya mengurangi impor lah. Itu yang salah satu mengurangi impor, Insha Allah bisa membuat tekanan neraca perdagangan jadi lebih berkurang" terang Andang.
Sementara, menurut Direktur Jenderal minyak dan gas bumi (Migas) Kementerian ESDM Djoko Siswanto, jika seluruh KKKS itu menjual minyak mentahnya kepada Pertamina, maka impor bisa berkurang sekitar 225.000 bph. Saat ini, ada 11 KKKS yang telah menekan konttak jual-beli minyak mentah dengan Pertamina.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News