Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mengobral insentif untuk hilirisasi tambang, termasuk bagi komoditas batubara. Insentif diberikan baik dalam bentuk fiskal maupun non-fiskal. Obral insentif tersebut diberikan melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 alias UU Minerba, serta UU Cipta Kerja alias Omnibus Law.
Insentif non-fiskal diberikan dalam bentuk kemudahan perizinan, yang bisa diperpanjang hingga umur cadangan tambang bagi hilirisasi batubara yang terintegrasi. Sedangkan insentif fiskal berupa pemberian royalti 0%.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menyambut positif insentif tersebut. Menurutnya, insentif fiskal dibutuhkan untuk meningkatkan keekonomian proyek hilirisasi batubara. Sedangkan insentif non-fiskal berupa jaminan perizinan diperlukan sebagai kepastian investasi.
Hendra bilang, kepastian perizinan ini penting lantaran hilirisasi batubara merupakan proyek jangka panjang dengan umur (life time project) 25 tahun-30 tahun, bahkan lebih. Sementara itu, jika pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) diperpanjang dan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), maka jangka waktu perizinannya terbatas sampai 20 tahun (2x10 tahun).
"Sehingga harus ada kepastian. Karena izin IUPK terbatas 2x10 tahun, sementara proyek (hilirisasi) jangka panjang, bisa 30 tahun lebih," kata Hendra kepada Kontan.co.id, Minggu (18/10).
Baca Juga: Ada insentif royalti 0% di UU Cipta Kerja, bagaimana efek ke emiten batubara?
Hanya saja, dia menekankan, pelaku usaha masih menunggu aturan detail terkait dengan insentif perizinan tersebut. Hendra berharap, aturan pelaksanaan UU Minerba dan Omnibus Law melalui Peraturan Pemerintah (PP) bisa segera diterbitkan.
"Detail pengaturan, bagaimana pemberian izin untuk hilirisasi ini, sedang ditunggu dalam PP-nya," kata Hendra.
Belum cukup
Meski sudah ada insentif fiskal dan non-fiskal tersebut, namun Hendra menilai hal itu belumlah cukup. Kata dia, masih dibutuhkan sejumlah insentif lain dan dukungan dari pemerintah agar pengembangan hilirisasi batubara bisa berjalan.
Pertama, Hendra meminta agar ada insentif fiskal lanjutannya, yakni berupa pembebasan pajak atau tax holiday. Khususnya bagi impor barang-barang modal yang digunakan dalam proyek hilirisasi batubara.
Kedua, adanya konsistensi regulasi. Hendra berharap, berubah-ubahnya regulasi dalam rezim hukum pertambangan yang lalu tidak terulang. Pasalnya, UU Minerba sudah diubah dalam kurun waktu 11 tahun, begitu juga berulang kali perubahan dalam PP dan Peraturan Menteri (Permen). "Jangan sampai di tengah jalan berubah-ubah," ujarnya.
Ketiga, adanya jaminan terkait dengan serapan pasar dari produk hilirisasi batubara, serta kepastian harganya. "Siapa yang mau beli? setelah ada yang beli, harga jualnya berapa? Ini kan produk substitusi, misal DME untuk LPG, nanti harga jualnya bagaimana?" kata Hendra.
Menurut dia, insentif dan kepastian tersebut dibutuhkan lantaran hilirisasi batubara memerlukan investasi besar dan bersifat jangka panjang. Apalagi, pendanaan untuk proyek batubara juga semakin sulit. Tak hanya karena kondisi pandemi covid-19, sebelumnya pun sejumlah perbankan dan lembaga pendanaan memang banyak yang telah meninggalkan proyek batubara.
"Kalau membangun (proyek hilirisasi batubara) kan US$ 2 miliar, ada yang US$ 3 miliar. Akses pendanaan juga sulit, jadi cost of fund-nya lebih mahal. Itu membuat hitung-hitungan ekonomi semakin berat," kata Hendra.
Baca Juga: Soal janji insentif izin usaha seumur tambang batubara, ini tanggapan IMA
Pelaksana Harian Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno juga mengungkapkan pandangan yang serupa. Dia menilai, perlu ada jaminan penyerapan produk hilirisasi batubara, misalnya oleh industri kimia dasar maupun petrokimia. Sehingga, Djoko menekankan bahwa yang perlu dipacu bukan sekadar hilirisasi tambang, namun juga pertumbuhan industri dalam negeri.
"Kalau perlu ada kontrak jangka panjang sehingga produsen dan konsumen mempunyai jaminan akan supply dan demand. Perindustrian dasar juga harus dipacu agar penyerapan hilirisasi dapat menumbuhkan industri dalam negeri serta penyerapan angkatan kerja," terangnya.
Menurut Djoko, umur cadangan pada umumnya maksimal sampai 50 tahun. Saat hilirisasi sudah berjalan, cadangan batubara bisa dihemat dan bisa lebih efisien untuk sumber industri lainnya. "Harapannya kalau diperpanjang sampai umur cadangan, banyak keuntungan yang diperoleh pemerintah maupun mitra kerja," kata Djoko.
Tujuh skema hilirisasi batubara
Dalam siaran resmi di laman Kementerian ESDM, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Sujatmiko mengungkapkan bahwa ada tujuh skema hilirisasi batubara yang tengah dikembangkan oleh pemerintah, yakni gasifikasi batubara, pembuatan kokas (cokes making), underground coal gasification, pencairan batubara, peningkatan mutu batubara, pembuatan briket, dan coal slurry/coal water mixture .
"Tujuh hilirisasi ini masa depan batubara kita agar menjadi tulang punggung (backbone) energi baik di Indonesia maupun dunia," ungkap Sujatmiko.
Baca Juga: Emiten tambang dihadang permintaan China dan omnibus law, ini saham pilihan Maybank
Dalam paparannya, Kementerian ESDM menargetkan penambahan 3 fasilitas peningkatan mutu batubara (coal upgrading) pada tahun 2024, 2026, dan 2028 dengan kapasitas masing-masing mencapai 1,5 juta ton/tahun.
Sementara proses gasifikasi akan dilakukan oleh PT Bukit Asam sebagai upaya subtitusi Liquified Petroleum Gas (LPG) melalui Dimethyl Ether (DME) yang beroperasi pada tahun 2024. Hal serupa dilakukan oleh PT KPC dengan kapasitas kurang lebih 4 juta ton.
Untuk penambahan pabrik briket direncanakan rampung pada tahun 2026 dan 2028 berkapasitas 20 ribu ton per tahun, sedangkan rencana dua fasilitas cokes making akan selesai di tahun yang sama dengan kapasitas kurang lebih satu juta ton.
Guna mempercepat hilirisasi, kata Sujatmiko, pemerintah telah menyiapkan insentif fiskal dan non fiskal agar proyek hilirisasi lebih ekonomis. Insentif non fiskal yang diberikan antara lain berupa izin usaha selama umur cadangan tambang. Artinya, izin usaha pertambangan tidak lagi dibatasi 20 tahun.
Sementara insentif fiskal berupa pembebasan royalti bagi batubara yang dijadikan bahan baku hilirisasi. Royalti 0% itu diyakini tidak akan mengurangi penerimaan negara. Pasalnya, hilirisasi mampu menciptakan efek berganda yakni membuka lapangan kerja serta menggerakkan roda perekonomian daerah.
Dengan efek berganda itu, maka penerimaan negara yang hilang dari royalti nol persen akan tersubstitusi. "Kalau industri jalan maka secara agregat pajak memberi keuntungan bagi negara. Bagi daerah juga berdampak untuk pengembangan infrastruktur dan ekonomi penunjang," ujar Sujatmiko.
Adapun, jaminan perizinan jangka panjang tersebut antara lain dapat merujuk pada UU No. 3 Tahun 2020 Pasal 47 huruf (f) dan (g), bahwa untuk pertambangan mineral logam dan batubara yang terintegrasi dengan fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian selama 30 tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan selama 10 tahun setiap kali perpanjangan setelah memenuhi persyaratan.
Pengaturan serupa juga terdapat pada Pasal 83 huruf (g) dan (h). Juga Pasal 169 A ayat (5) yang mengatur khusus untuk pemegang IUPK kelanjutan operasi kontrak/perjanjian.
Sedangkan terkait royalti 0% terdapat pada UU Cipta Kerja klaster energi-pertambangan. Pasal 128 A ayat (2) mengatur adanya pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara untuk kegiatan peningkatan nilai tambang batubara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0%.
Selanjutnya: Simak rekomendasi emiten batubara di tengah sentimen positif UU Cipta Kerja
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News