Reporter: Muhammad Julian | Editor: Yudho Winarto
Menurut Sahat, strategi-strategi ini efektif untuk mengatasi persoalan minyak goreng di dalam negeri. Sahat berpendapat, pasar RBD Olein di dalam negeri cukup menarik bagi pengusaha. Selain karena adanya permintaan, harga yang bisa didapat pengusaha juga masih terbilang menarik dengan adanya subsidi.
Baca Juga: Bea Cukai dan Satgas Pangan Akan Monitor Larangan Ekspor RBD Plam Olein
Di sisi lain, pengusaha tidak perlu berepot-repot mengurus Letter of Credit (L/C) maupun hal-hal lainnya yang diperlukan dalam penjualan ekspor. Selain itu, kalau mau, pengusaha masih bisa mengekspor produk sampingan RBD Olein, yaitu Stearin yang harga per tonnya lebih besar US$ 205 per ton dibandingkan CPO.
Sebagai pembanding, sebelum difraksionasi menjadi RBD Olein dan Stearin, CPO yang telah dimurnikan akan menjadi RBDPO dengan produk sampingan berupa Palm Fatty Acid Distillate (PFAD).
Harga ekspor PFAD, menurut catatan Sahat, hanya lebih besar US$ 164 per ton dibanding CPO. “Nah kan dengan begini Anda lebih baik gelontorkan RBD Olein ke dalam negeri, lalu Anda juga bisa ekspor stearin dan dapat US$ 205 tambahan, makanya itu lebih bagus,” terang Sahat.
Alasan lainnya yang juga turut membuat Sahat cukup yakin dengan efektivitas strategi pemerintah ialah adanya pelibatan Bulog dan BUMN Pangan yang memiliki jaringan luas dalam mempercepat distribusi minyak goreng curah bersubsidi dari pengusaha ke pasar.
Dengan strategi-strategi ini, Sahat yakin pelaku usaha nakal tidak akan bisa ‘berkutik’ melakukan tindakan-tindakan ilegal.
Baca Juga: Ekspor Tiga Komoditas Bahan Baku Minyak Goreng Sawit Resmi Dilarang, Ini Kata Gapk
Sahat optimistis, kebijakan larangan Palm Olein tidak akan membuat pasokan menjadi berlimpah di dalam negeri. Sahat berujar, sisa pasokan yang tidak terserap di dalam negeri masih bisa diproses menjadi bentuk lain seperti misalnya shortening dan vanaspati yang permintaannya cukup tinggi di pasar ekspor.
Dalam jumpa pers yang digelar Selasa malam (26/4), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengonfirmasi bahwa larangan kebijakan ekspor diberlakukan terhadap 3 kode HS.
Pertama kode HS 15.11.90.36 Berdasarkan catatan KONTAN, nilai ekspor komoditas ini pada tahun lalu mencapai US$ 1,54 miliar. Kedua adalah kode HS 1511.90.37 Berdasarkan adapun nilai ekspor komoditas ini pada tahun lalu mencapai US$ 11,55 miliar.
Ketiga adalah Kode HS 1511.90.39. “Permendag akan diterbitkan dimonitor Bea Cukai agar tidak ada penyimpangan,” ujar Airlangga Hartarto dalam jumpa pers (26/4).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News