Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) menolak adanya Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK) tahun 2020 karena penambahan upah tersebut bakal semakin memberatkan industri padat karya berorientasi ekspor.
Sebelumnya pada 1 November 2019, sejumlah Pemerintah Provinsi di Indonesia menetapkan serentak kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) di daerahnya. Penetapan tersebut mengacu pada dasar perhitungan sebagaimana termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan serta Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan tanggal 15 Oktober 2019 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2019.
Baca Juga: PLTGU Jawa 1 jadi andalan PLN, Pertamina berhasil melakukan switching energi
Dengan mengacu pada perhitungan tersebut upah minimum ditetapkan naik sebesar 8,51% dari tahun 2019.
Ketua Umum Aprisindo Firman Bakri menyatakan UMSK selama ini menjadi beban tambahan bagi industri khususnya padat karya dan berorientasi ekspor. Beban tersebut mengakibatkan industri tidak berdaya saing.
"Kami akan menindaklanjutinya dengan membangun komunikasi dengan pemerintah daerah setempat, di antaranya DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Timur," jelasnya kepada Kontan.co.id, Senin (11/11).
Firman mengungkapkan Aprisindo akan meminta supaya sektor padat karya berorientasi ekspor tidak dikenakan UMSK. Sebab di negara lain seperti Vietnam, ekspornya mampu bergairah karena ditopang UMSK yang tumbuhnya tidak sedrastis di Indonesia.
Melansir data yang dilampirkan Aprisindo, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, upah minimum di Indonesia merupakan yang paling tinggi jika dibandingkan dengan China dan Vietnam.
Baca Juga: Dubes RI dorong pebisnis optimalkan besarnya pasar China
Kenaikan upah minimum Indonesia dalam lima tahun terakhir sebesar 37,95% dibandingkan dengan China hanya 17,5% dan Vietnam sebesar 26%.
Firman menyampaikan penetapan UMSK dilakukan berdasarkan kesepakatan antara serikat dan asosiasi sehingga acapkali prosedur ini mengganggu hubungan antara perusahaan dan pekerja.
Pada 2019, industri alas kaki tengah mengalami tekanan dari luar maupun dari dalam yang mengganggu pasar ekspor dan dalam negeri. Sehingga dengan penambahan beban UMSK berdampak pada tekanan yang semakin besar.
Kondisi industri alas kaki untuk pasar ekspor pada 2019 sejak Januari sampai Agustus mengalami penurunan sebesar 12,8% yoy atau US$ 2,2 miliar dibanding pada periode yang sama tahun lalu yakni sebesar US$ 2,5 miliar.
Firman menjelaskan penurunan tersebut didominasi ekspor yang lesu dari industri yang berada di Jabodetabek. Walaupun ekspor dari pelabuhan Semarang mengalami peningkatan, belum mampu menopang tekanan yang terjadi di kawasan metropolitan.
Sementara untuk pasar domestik saat ini, juga mengalami tekanan peningkatan impor sebesar 15,7% pada periode Januari hingga Agustus 2019.
Firman bilang, sebenarnya industri alas kaki di Indonesia punya peluang untuk tumbuh karena kondisi Vietnam yang mengalami kejenuhan. Adapun menurutnya investor dan buyer mulai melirik Indonesia lagi.
Baca Juga: Kemenaker memprediksi ada 20.000 tenaga kerja digantikan oleh robot pada tahun depan
Oleh karenanya, Aprisindo memberikan beberapa masukan untuk permasalahan ini. Pertama, terkait PP 78 tahun 2015 telah memberikan kepastian bagi dunia usaha dalam hal penetapan upah minimum harus segera di-review. Khususnya terkait dengan formula perhitungan kenaikan upah yang lebih mencerminkan kondisi sektoral.
Kemudian mengimbau kepada Kepala Daerah yang telah menetapkan UMSK di daerahnya untuk industri alas kaki supaya pada tahun ini menghapuskannya. Sejumlah daerah yang selama ini telah menambahkan upah sektoral untuk industri alas kaki adalah Provinsi Jakarta, Provinsi Banten, dan Provinsi Jawa Timur.
Menghimbau juga kepada pemerintah untuk memaksimalkan program-program jaminan sosial untuk pekerja. Oleh karenanya dengan adanya optimalisasi sejumlah program tersebut dapat meningkatkan taraf hidup pekerja.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News