Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan produksi batubara nasional hingga 2024 bakal terus melonjak, hingga menembus 628 juta ton dalam setahun.
Meroketnya produksi batubara nasional memang nyaris terjadi setiap tahun. Oleh sebab itu, Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) menilai pemerintah perlu mengendalikan produksi batubara agar bisa lepas dari kondisi kelebihan pasokan (oversupply) seperti yang terjadi saat ini.
Ketua IMEF Singgih Widagdo mengatakan, pengendalian produksi sangat diperlukan, khususnya untuk tahun ini dan di 2021. "Setelahnya ada arah bagaimana pengendalian produksi terus dilakukan agar tidak terjadi oversupply," kata Singgih kepada Kontan.co.id, Minggu (30/8).
Kata dia, pemerintah juga perlu menghitung kembali dampak covid-19 terhadap permintaan (demand) batubara, baik secara domestik maupun untuk pasar ekspor. Hal itu penting untuk memetakan pasar yang dapat menyerap batubara dari Indonesia.
Baca Juga: Jalani strategi akuisisi tambang, PLN pastikan tidak melupakan pengembangan EBT
Singgih memperkirakan, China dan India sebagai pasar utama ekspor batubara Indonesia akan mengerem impor batubaranya dalam lima tahun ke depan. Alasannya, kedua negara tersebut berpotensi untuk memaksimalkan penggunaan batubara dari dalam negerinya.
Pasar ekspor potensial datang dari Vietnam, Malaysia dan Filipina. Namun, kenaikan demand dari ketiga negara tersebut diprediksi tidak akan lebih tinggi dari naiknya jumlah produksi yang ingin dicapai oleh para pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP).
Memang, serapan batubara dari demand dalam negeri ditaksir bakal terus tumbuh, seiring dengan pemulihan ekonomi, kebutuhan listrik dan potensi demand dari industri semen dan smelter. Namun, pertumbuhan demand dalam negeri diprediksi masih belum signifikan.
"Mengingat besarnya IUP, justru penataan produksi atas jumlah PKP2B dan IUP OP yang jauh di atas kenaikan pertumbuhan demand, perlu menjadi perhatian Kementerian ESDM," sebut Singgih.
Tanpa adanya pengendalian produksi, sambung Singgih, perusahaan akan berjuang secara korporasi dalam mempertahankan performa finansialnya di tengah kondisi pasar yang oversupply dan harga batubara yang rendah. "Melakukan konsolidasi atas kontrol produksi atau membiarkan perusahaan berjuang hidup, menjadi pilihan ESDM," imbuhnya.
Baca Juga: Bayan Resources (BYAN) menebar dividen dari saldo laba 2019, ini jadwalnya
Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir, realisasi produksi batubara selalu meroket dari target. Pada tahun 2018, misalnya, saat itu target di Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) ditetapkan sebesar 485 juta ton. Tapi, realisasi produksi di tahun itu menanjak menjadi 557 juta ton.
Pada tahun 2019, target awal dalam RKAB dipatok di angka 489,12 juta ton. Namun, realisasi produksi hingga akhir tahun lalu menanjak hingga menjadi 616 juta ton. Kondisi pada tahun ini bisa jadi berbeda dengan adanya pandemi Covid-19.
Menurut Singgih, produksi batubara nasional berpotensi di level 520 juta ton seiring dengan tekanan pasar dan harga batubara yang membuat perusahaan mempertimbangkan untuk mengurangi produksinya. "Bahkan, atas kondisi over supply semestinya Indonesia harus menurunkan produksi sekitar 50 juta -80 juta ton," ujarnya.
Adapun, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin membeberkan, target produksi batubara pada tahun ini dipatok 550 juta ton. Tahun depan, produksi komoditas emas hitam itu diproyeksikan bakal meroket ke angka 609 juta ton.
Baca Juga: Demi kelanjutan PKP2B, Menteri ESDM beri sinyal akan terbitkan IUPK
Pada tahun 2022, sambung Ridwan, produksi batubara nasional ditaksir 618 juta ton. Setahun kemudian, naik lagi menjadi 625 juta ton. Lalu menjadi 628 juta ton pada tahun 2024. Kata dia, proyeksi produksi tersebut dihitung dengan berbagai pertimbangan.
"Proyeksi produksi dihitung berdasarkan kapasitas produksi perusahaan, kebutuhan pasar dalam negeri dan ekspor, serta pertumbuhan ekonomi," sebut Ridwan dalam Rapat Dengar Pendapat yang digelar Komisi VII DPR RI, Kamis (27/8).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News