Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah merevisi besaran proyek ketenagalistrikan yang bisa mengalami penundaan. Hasilnya, dari semula sebesar 15.200 Megawatt (MW) yang direncanakan, kini tinggal 4.640 MW saja.
Sebabnya, menurut Direktur Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Andy N. Sommeng, sebanyak 10.560 MW tidak bisa dihentikan. Ada sejumlah pertimbangan yang Andy sebutkan.
Diantaranya, faktor reliability atau keandalan kelistrikan dengan reserve margin sebesar 30%, pembangkit dengan Energi Baru Terbarukan (EBT) yang tak bisa ditunda sebesar 3,51 GW, dan pembangkit yang telah meneken Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG).
Selain itu, ada juga pertimbangan soal Power Purchase Agreement (PPA) dan harga yang telah disetujui oleh menteri ESDM. “Setelah kita cek lagi (dari 15.200 MW), ternyata ada yang tidak bisa ditunda dan ada yang sudah dapat ijin Pak Menteri, jadi jumlahnya 10.560 MW (yang tak ditunda),” ujar Andy, Senin (25/9).
Dengan perhitungan tersebut, artinya ada 4.640 MW yang proses Commercial Operation Date (COD) dapat ditunda hingga tahun 2024. Namun, Andy menekankan jumlah tersebut masih bisa dikaji kembali.
Hal itu didapat dengan mempertimbangkan kebutuhan listrik, kepastian investasi dan kurs rupiah yang sudah realtif membaik. “Ya betul (ada kemungkinan tidak ada pergeseran COD sama sekali),” kata Andy saat dikonfirmasi Kontan.co.id, Selasa (25/9).
Hal itu senada dengan apa yang diharapkan oleh produsen listrik swasta. Juru bicara Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Rizal Calvary menyebut, pihaknya masih menuggu reaksi dan masukan dari para investor.
“Mudah-mudahan bisa dipahami bahwa kebijakan ini hanya sementara. Kalau dari IPP sih berharap begitu (sama sekali tidak ada penundaan),” kata Rizal.
Sementara, Sekretaris Jenderal Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) Heru Dewanto megnatakan, adanya penurunan besaran penundaan dari 15.200 MW menjadi 4.640 MW tersebut menjadi indikasi bahwa pemerintah mendengar masukan dari dunia swasta.
Sebabnya, jika penundaan proyek kelistrikan hanya terkait soal pelemahan kurs rupiah, langkah itu bisa menjadi salah kaprah. Heru menyebut, infrastruktur kelistrikan adalah proyek jangka panjang, sedangkan persoalan kurs rupiah adalah jangka pendek.
Jadi, persoalan jangka pendek harusnya dicarikan solusi jangka pendek, begitu juga sebaliknya. Apalagi, Heru bilang, penundaan proyek kelistrikan setidaknya bisa menimbulkan dua implikasi serius, yakni secara legal dan komersial.
“Kalau proyek yang sudah kontrak dimundurin, pasti ada implikasinya, bergantung kontrak. Kalau komersial, saat proyek ditunda, pasti ada implikasi ke biaya konstruksi, dan sebagainya, karena nanti harga berubah,” jelas Heru.
Karenanya, ia berharap tidak akan ada penundaan, apalagi untuk proyek yang sudah teken kontrak. “Kita senang karena pemerintah mendengarkan masukan, dan terus mengurangi proyek yang ditunda. Mudah-mudahan makin lama nggak ada yang ditunda,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News