Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
Menurut Rudy, laporan mengenai langkah dan capaian efisiensi itu juga rutin disampaikan ke regulator, dalam hal ini Ditjen Ketenagalistrikan (Gatrik) Kementerian ESDM. "Laporan rutin terkait pengendalian efisiensi juga dilaporkan dan dimonitor oleh Ditjen Gatrik agar selalu terkendali," pungkasnya.
Asal tahu saja, kajian ICW mengungkapkan bahwa selama periode 2009 sampai 2019, biaya pembelian batubara untuk pembangkit PLN rata-rata lebih mahal dibandingkan harga impor (CIF) China untuk batubara jenis lignit dari Indonesia. Di mana secara rata-rata sepuluh tahun terakhir, biaya pembelian batubara untuk pembangkit PLN lebih mahal Rp 225.000 per ton.
“Kajian ini menelaah dari setidaknya dua hal, pertama dengan melihat selisih biaya pengadaan yang disebabkan oleh rantai pasok dan proses pengadaan yang tidak efisien, dan kedua, melihat dari beban penggunaan dibandingkan dengan beban komponen bahan bakar di pembangkit batu bara yang dioperasikan oleh anak perusahaan PLN,” ujar Firdaus Ilyas, penulis kajian ini dan mantan peneliti senior ICW dalam keterangan tertulisnya, Senin (29/6).
Baca Juga: Pengumuman! Token listrik gratis PLN bulan Juli sudah bisa diakses hari ini
Kajian ini menemukan bahwa apabila dikaitkan dengan realisasi volume pemakaian batubara pada pembangkit listrik milik PLN selama periode 2009 sampai 2019 sebesar 473.602.354 ton, maka secara agregat selisih harga pengadaan batubaranya mencapai Rp 100,378 triliun atau rata-rata per tahun terdapat selisih sebesar Rp 9,125 triliun.
Kajian ICW tersebut juga menemukan ada potensi kerugian negara pada pengadaan batubara di PLTU Suralaya. Hal ini ditemukan dengan membandingkan pengadaan batu bara di PLTU Suralaya yg dikelola oleh PT Indonesia Power (IP) dan PLTU Paiton yang dikelola oleh PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) yang dianggap merupakan pembangkit yang sama tipenya.
Menurut Firdaus, berdasarkan kalori batu bara yang digunakan serta tingkat efisiensi penggunaan batu bara, seharusnya komponen biaya untuk bahan bakar yang dikeluarkan PLTU Suralaya lebih rendah dibandingkan PLTU Paiton. Diindikasikan adanya selisih beban komponen batubara pada PLTU Suralaya sebesar Rp 11,159 triliun selama periode 2009 - 2018.
Dengan kata lain, rata-rata setiap tahun nilai indikasi inefisiensi nya mencapai Rp 1,240 triliun, yang bisa disebut sebagai indikasi inefisiensi pada PLTU Suralaya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News