kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45907,02   3,68   0.41%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dituding inefisiensi lebih dari Rp 100 triliun di pengadaan batubara, ini jawaban PLN


Kamis, 02 Juli 2020 / 16:34 WIB
Dituding inefisiensi lebih dari Rp 100 triliun di pengadaan batubara, ini jawaban PLN
ILUSTRASI. Batubara untuk PLTU


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero) menanggapi kajian Indonesian Corruption Watch (ICW) yang mengungkapkan adanya inefisiensi bahkan potensi kerugian negara dalam pengadaan batubara bagi pembangkit listrik PLN.

Kajian yang dirilis ICW pada Senin (29/6) lalu itu menunjukkan adanya inefisiensi bahwa PLN selama ini telah membeli batubara lebih mahal daripada harga batubara Indonesia yang dibeli oleh pihak China dan India.

Berdasarkan kkajian tersebut, secara agregat, selisih harga pengadaan batubara lebih dari Rp 100 triliun selama satu dekade terakhir atau pada periode 2009-2019.

Baca Juga: Duh, pengadaan batubara PLN 10 tahun terakhir diduga kemahalan Rp 100 triliun

Direktur Energi Primer PLN Rudy Hendra Prastowo pun buka suara. Dia menampik hasil kajian tersebut dan mengklaim bahwa semua pembelian PLN sudah mengacu pada ketentuan yang berlaku dan diaudit secara rutin.

Untuk pengadaan batubara, PLN mengacu pada ketentuan dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM. Bahkan setelah pemerintah menegaskan aturan harga batubara untuk Domestik Market Obligation (DMO) US$ 70 per ton pada 2018 lalu, PLN langsung mengacu pada ketentuan tersebut.

Dengan aturan harga DMO itu, harga dibatasi US$ 70 per ton untuk batas atas jika harga batubara melambung tinggi di pasar. Namun jika di bawah itu, harga mengacu ke pasar berdasarkan spesifikasi kalori batubara yang beli PLN.

"Jadi proses pengadaan batubara PLN mengacu ketentuan Ditjen Minerba, dan setiap bulan selalu melaporkan. Sehingga kemahalan tidak terjadi," kata Rudy saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (2/7).

Selain itu, pengadaan energi primer PLN juga diaudit oleh Satuan Pengawas Internal (SPI) secara rutin. Selain itu, juga diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jika ada kerugian negara, kata Rudy, pasti sudah terlacak oleh audit tersebut.

"Jelas diaudit oleh BPK dan SPI PLN secara rutin. Kalau ditanya kerugian, pasti BPK akan klarifikasi, dan saat ini alhamdulillah tidak ada," sebutnya.

Terkait mekanisme pengadaan, Rudy memastikan bahwa semua batubara PLN dibeli dari dalam negeri. Untuk menjaga kontinuitas pasokan, pengadaan batubara PLN dibagi melalui dua cara.

Baca Juga: Waduh, pemakaian listrik lebih kecil tapi tagihan pelanggan masih melonjak hingga 40%

Pertama, melalui kontrak jangka menengah dan jangka panjang yang dilakukan secara lelang. Kedua, kontrak spot melalui anak usaha, yakni PLN Batubara. Dilihat dari komposisinya, sekitar 70% batubara PLN diadakan dengan cara pertama, dan sekitar 30% lainnya diadakan lewat PLN Batubara,

"Kisaran (komposisi pengadaan batubara) seperti itu, yang sangat tergantung dari permintaan PLTU-PLTU," ujar Rudy.

Lebih lanjut, dia juga menampik adanya potensi kerugian negara pada pengadaan batubara di PLTU Suralaya. Kata dia, PLN terus melakukan upaya efisiensi di setiap unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Capaian efisiensi tersebut menjadi target kinerja yang dipertanggungjawabkan.

"Efisiensi untuk PLTU-PLTU menjadi target kinerja dari setiap unit yang selalu dipertanggungjawabkan, agar efisiensi tetap terjaga," katanya.

Menurut Rudy, laporan mengenai langkah dan capaian efisiensi itu juga rutin disampaikan ke regulator, dalam hal ini Ditjen Ketenagalistrikan (Gatrik) Kementerian ESDM. "Laporan rutin terkait pengendalian efisiensi juga dilaporkan dan dimonitor oleh Ditjen Gatrik agar selalu terkendali," pungkasnya.

Asal tahu saja, kajian ICW mengungkapkan bahwa selama periode 2009 sampai 2019, biaya pembelian batubara untuk pembangkit PLN rata-rata lebih mahal dibandingkan harga impor (CIF) China untuk batubara jenis lignit dari Indonesia. Di mana secara rata-rata sepuluh tahun terakhir, biaya pembelian batubara untuk pembangkit PLN lebih mahal Rp 225.000 per ton.

“Kajian ini menelaah dari setidaknya dua hal, pertama dengan melihat selisih biaya pengadaan yang disebabkan oleh rantai pasok dan proses pengadaan yang tidak efisien, dan kedua, melihat dari beban penggunaan dibandingkan dengan beban komponen bahan bakar di pembangkit batu bara yang dioperasikan oleh anak perusahaan PLN,” ujar Firdaus Ilyas, penulis kajian ini dan mantan peneliti senior ICW dalam keterangan tertulisnya, Senin (29/6).

Baca Juga: Pengumuman! Token listrik gratis PLN bulan Juli sudah bisa diakses hari ini

Kajian ini menemukan bahwa apabila dikaitkan dengan realisasi volume pemakaian batubara pada pembangkit listrik milik PLN selama periode 2009 sampai 2019 sebesar 473.602.354 ton, maka secara agregat selisih harga pengadaan batubaranya mencapai Rp 100,378 triliun atau rata-rata per tahun terdapat selisih sebesar Rp 9,125 triliun.

Kajian ICW tersebut juga menemukan ada potensi kerugian negara pada pengadaan batubara di PLTU Suralaya. Hal ini ditemukan dengan membandingkan pengadaan batu bara di PLTU Suralaya yg dikelola oleh PT Indonesia Power (IP) dan PLTU Paiton yang dikelola oleh PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) yang dianggap merupakan pembangkit yang sama tipenya.

Menurut Firdaus, berdasarkan kalori batu bara yang digunakan serta tingkat efisiensi penggunaan batu bara, seharusnya komponen biaya untuk bahan bakar yang dikeluarkan PLTU Suralaya lebih rendah dibandingkan PLTU Paiton. Diindikasikan adanya selisih beban komponen batubara pada PLTU Suralaya sebesar Rp 11,159 triliun selama periode 2009 - 2018.

Dengan kata lain, rata-rata setiap tahun nilai indikasi inefisiensi nya mencapai Rp 1,240 triliun, yang bisa disebut sebagai indikasi inefisiensi pada PLTU Suralaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×