kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Diwarnai kolaborasi dan akuisisi, hubungan ritel online-offline kian mesra


Kamis, 16 September 2021 / 21:25 WIB
Diwarnai kolaborasi dan akuisisi, hubungan ritel online-offline kian mesra
ILUSTRASI. Pengunjung mengenakan masker saat berbelanja di gerai?Hypermart.


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Perusahaan e-commerce semakin merangsek bisnis ritel di Indonesia. Perdagangan berbasis online-offline pun semakin mesra seiring maraknya aksi kolaborasi hingga akuisisi antara pebisnis ritel dengan pelaku e-commerce.

Terbaru, perusahaan e-commerce milik Group Djarum yakni PT Global Digital Niaga alias Blibli.com bersiap mengakuisisi hingga 51% saham PT Supra Boga Lestari Tbk (RANC), emiten pengelola supermarket premium Ranch Market dan Farmers Market.

Sebelumnya, ada Gojek yang masuk ke jaringan ritel Grup Lippo melalui PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA), yang menaungi Hypermart. Melalui perusahaan afiliasinya, Gojek menggenggam 4,76% saham MPPA.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mengungkapkan, secara industri, fenomena maraknya kolaborasi dan akuisisi antara pelaku e-commerce dengan peritel konvensional mempertegas bahwa saat ini hingga ke depannya tidak ada lagi dikotomi antara perdagangan offline dan online.

Baca Juga: Bisnis remitansi bank pelat merah masih tumbuh hingga Agustus

Menjadi suatu keniscayaan, model bisnis dan ekosistem offline-online atau online-offline (O2O) menjadi model bisnis di sektor perdagangan Indonesia. Menurut Roy, dengan tren yang ada dalam dua sampai tiga tahun belakangan, kondisi ini sudah terprediksi. Apalagi pandemi covid-19 mempercepat penetrasi perdagangan secara digital.

"Kami melihatnya ini bukan lagi dikotomi atau persaingan pemain offline dan online. Tapi  suatu keniscayaan kolaborasi offline-online dalam model bisnis, distribusi channel atau supply chain. Ini akan lebih terkonsolidasi di masa masa ke depan," ungkap Roy saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (16/9).

Dia menambahkan, secara korporasi, masuknya perusahaan e-commerce ke pebisnis ritel bisa memperkuat kapitalisasi dan likuiditas perusahaan. Ujungnya, layanan terhadap konsumen bisa terus ditingkatkan. Alhasil, Roy berharap tren konsolidasi ini tidak hanya berdampak positif bagi ekosistem perdagangan, namun juga pada pergerakan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. 

"Ini membuktikan, bahwa pemain online nggak bisa berdiri sendiri tanpa adanya jaringan (dari ritel) offline. Begitu juga sebaliknya. Pengikatnya disebut omnichannel, model yang banyak dilakukan di masa pandemi, dan ke depannya," sebut Roy.

Baca Juga: Tersengat kabar akuisisi, saham Supra Boga Lestari (RANC) naik 10%

Dihubungi terpisah, Peneliti Lembaga Manajemen FEB Universitas Indonesia Taufiq Nur mengemukakan, secara bisnis, pertumbuhan e-commerce jauh lebih tinggi ketimbang ritel konvensional yang tertampar pandemi. Tren pertumbuhan ritel dalam tiga tahun terakhir pun mengalami penurunan hingga terkontraksi di minus 0,57% pada real sales index di tahun 2020.

Kondisi pandemi membuka peluang lebih lebar bagi kombinasi online-offline, yang mana e-commerce juga perlu memiliki kapabilitas secara offline. "Kalau tidak, e-commerce atau marketplace bisa menghadapi trap yang sama dihadapi oleh retail konvensional saat ini, yangmana di masa lalu berjaya tetapi ketahannya diuji ketika tren berbelanja kemudian berubah," ungkap Taufiq saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (16/9).

Dia memberikan catatan, sinergi offline dan online idealnya dapat dihasilkan dengan kolaborasi investasi e-commerce ke ritel konvensional, dengan menciptakan model bisnis omnichannel. Di sini, Taufiq menegaskan perbedaan antara model bisnis omnichannel dengan multichannel.

Perbedaan mendasar dari keduanya adalah soal sumber pendapatan (revenue stream). Dalam model multichannel, kata Taufiq, baik offline maupun online merupakan revenue stream terpisah yang dimiliki perusahaan. 

Sedangkan dalam skema omnichannel, ada kolaborasi online dan offline yang pada ujungnya menjadi satu revenue stream yang tidak terpisahkan. "Arahnya ke kolaborasi online-offline melalui pendekatan omnichannel. Jadi dimungkinkan jika konsumen mencari produk secara online dan membeli produknya secara offline, dan sebaliknya," jelas Taufiq.

Baca Juga: Mulai ekspansi, sejumlah bank ini tengah menyiapkan rencana akuisisi

Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Indef, Nailul Huda mengungkapkan ada dua strategi yang berpotensi dikembangkan oleh e-commerce atau perusahaan rintisan (start up) teknologi. Pertama mengembangkan ekosistem digitalnya sendiri. Kedua, mengembang ekosistem digital-konvensional.

"Misalnya ada Sociolla yang tengah gencar membuka toko fisik. Begitu juga dengan e-commerce yang punya mitra offline. Bisa jadi layanan RANC bisa dinikmati di Blibli, atau barang Blibli juga bisa dijual melalui jaringan RANC," jelas Huda.

Dengan begitu, perusahaan bisa menawarkan dua layanan sekaligus. Kombinasi offline-online ini akan memberikan dampak positif bagi korporasi lantaran memiliki pasar yang jauh lebih besar jika dibandingkan hanya satu saluran saja.

Pihak ritel konvensional pun tidak akan terdisrupsi oleh teknologi, bahkan bisa lebih berkembang jika bersama dengan perusahaan digital memiliki ekosistem yang komplet mulai dari finance, losgistik hingga payment.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×