Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
Berdasarkan hasil pengambilan sampel sampel rambut, saat KLHK melakukan observasi langsung ke area pertambangan sekitar Maret dan Agustus 2017 lalu, mereka memang menemukan rambut penambang yang mengandung merkuri. Namun dari hasil pengamatan KLHK, itu merupakan dampak penggunaan merkuri di beberapa tahun sebelumnya.
“Efeknya kan akumulasi, makanya merkuri itu disebut bioakumulasi. Jadi mungkin sudah dua atau tiga tahun mereka sudah tidak pakai merkuri. Tetapi sebelumnya mereka pakai, sehingga itu bisa kita lihat di rambutnya,” jelasnya.
Karenanya, dapat dipastikan KLHK, warga setempat telah mendapatkan edukasi yang baik atas penggunaan sianida. Apalagi, pihaknya menginginkan para penambang bisa menggunakan sianida untuk proses pertambangan. Itu sebabnya, Tim KLHK akan mengawasi dan selalu mengedukasi sianidai di penambangan emas.
Penggiat Lingkungan Hidup dari Serikat Indonesia Hijau Agus Sallim menilai, keinginan penutuapan tambang Poboya, justru akan menyengsarakan masyarakat sekitar tambang. Apalagi, perusahaan tambang di Poboya telah memiliki IUPK.
Agus mensinyalir ada keterlibatan asing yang memanfaatkan isu pertambangan di Poboya untuk mengambil keuntungan tertentu.
"Harusnya win win solution kalau mau menguji sektor pertambangan. Karena ini menjadi tulang punggung rakyat," ungkapnya.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), lanjutnya, proses pertambangan emas Poboya tak lagi menggunakan merkuri. Untuk itu, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota perlu memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai cara bertambang emas yang baik.
Edukasi ini, dapat dibantu oleh Perusahan tambang. Tujuannya, untuk menjaga keberlangsungan tambang rakyat yang telah menjaga konsesi dalam IUP. "Di Liverpool, Inggris, ada tambang dalam kota dan tidak masalah kalau teknologi canggih, " tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News