kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Duh, perunggasan rakyat rugi Rp 12 triliun


Jumat, 26 Juni 2015 / 22:52 WIB
Duh, perunggasan rakyat rugi Rp 12 triliun


Sumber: Antara | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Usaha perunggasan rakyat dalam negeri selama Januari hingga Juni 2015 mengalami kerugian mencapai Rp12 triliun akibat ekspansi perusahaan peternakan unggas multinasional besar-besaran di tanah air.

Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar Indonesia) Singgih Januratmoko di Jakarta, Jumat (26/6), mengatakan sejak akhir 2013 peternak ayam broiler atau pedaging mengalami kerugian terus-menerus.

Pada 2014 kerugian yang diderita peternak rakyat mandiri tersebut mencapai Rp7,5 triliun. "Para pembibit raksasa melampiaskan ambisinya untuk ekspansi secara berlebihan sejak mereka menikmati kondisi perunggasan yang menguntungkan selama periode 2010-2012," katanya.

Ekspansi mereka sangat agresif, tambahnya, terutama perusahaan yang sudah "go public" seperti PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk, PT Japfa Comfeed Indonesia, PT Malindo Feedmill Tbk.

Pertumbuhan para integrator tersebut cukup tinggi, terutama PT CPI sangat luar biasa hingga hampir tiga kali lipat selama empat tahun terakhir atau rata-rata 45 persen per tahun.

Padahal, lanjut Singgih, pertumbuhan rata-rata daya serap produk unggas nasional hanya sekitar 1,5 -2 kali pertumbuhan ekonomi nasional yaitu 7,5 -12 persen per tahun.

"Ambisi ini yang menjadi sumber rusaknya pasar perunggasan nasional. Perusahaan-perusaan raksasa tersebut memberikan kontribusi terbesar dalam pengrusakan pasar ayam broiler," katanya.

Menurut dia, pasokan ayam broiler nasional mencapai 64 juta ekor per minggu sementara daya serap pasar maksimal saat ini hanya 47 juta ekor per minggu atau kelebihan pasokan 17 juta ekor per minggu.

"Dampaknya harga ayam broiler terpuruk di bawah harga pokok penjualan (HPP) yang membuat kerugian peternak selama dua tahun," katanya.

Dia menyatakan, kondisi tersebut mengakibatkan jumlah peternak rakyat mandiri tinggal 18 persen dari populasi secara nasional sementara yang 82 persen dikuasai perusahaan besar, bahkan di beberapa provinsi sudah tidak ada peternak mandiri.

"Sudah banyak peternakan ayam broiler mandiri di wilayah Sumatera, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang bangkrut akibat over supply dan kandang-kandang mereka diambil alih para integrator raksasa," katanya.

Ketua Dewan Pembina Pinsar Indonesia Hartono menyayangkan hingga saat ini belum ada upaya nyata dari pemerintah untuk mengatasi persoalan yang menimpa perunggasan rakyat ini. "Pemerintah harus segera mengatur tata niaga dan tata budi daya agar bisa berkeadilan," katanya.

Menurut dia, pemerintah bisa mengendalikan pasokan di hulu untuk menyeimbangkan demand-supply agar tidak terjadi "predatory pricing" harga ayam seperti dua tahun terakhir yang membunuh peternak rakyat.

Hartono menyatakan, bila kondisi ini dibiarkan berlanjut maka pada 2016 produksi broiler nasional akan mencapai 90 juta ekor per minggu atau dua kali lipat dari harga serap pasar. Akan terjadi pemusnahan peternakan rakyat mandiri secara sistematis.

"Akhirnya penguasaan pasar pasti akan didominasi perusahaan raksasa seperti PT CPI yang berpotensi memproduksi DOC FS broiler sebanyak 2,5 miliar ekor per tahun pada 2016," katanya.

Artinya, tambah Hartono, hanya satu perusahaan raksasa sudah mampu memenuhi kebutuhan pasar nasional yang hanya 2,4 miliar ekor pada 2015 ini, atau monopoli 100 persen.

Dia mengharapkan jumlah peternak rakyat mandiri bisa kembali meningkat mencapai 40 persen hingga 70 persen dari pangsa usaha budi daya nasional.

Ketua Pinsar Unggas Jawa Timur Kholiq menyatakan, kerugian yang dialaminya mencapai Rp26,5 miliar bahkan banyak peternak unggas di Jawa Timur yang akhirnya harus menanggung utang.

"Selama tujuh bulan terakhir ini kami mengalami minus (keuntungan). Harga ayam di tingkat peternak hanya Rp9000-Rp12.000/kg sedangkan BEP (break event point) Rp13.500/kg," katanya.

Oleh karena itu, pihaknya mendesak pemerintah untuk lebih berperan dalam melindungi peternak rakyat dari kehancuran.

"Pemerintah harus membuat regulasi yang melindungi peternak rakyat jangan dibiarkan bebas bertarung (dengan perusahaan raksasa)," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×