Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana Presiden Prabowo untuk menambah lahan atau ekspansi perkebunan sawit berpotensi besar memicu kenaikan konflik agraria di Indonesia.
Sebab, selain memicu krisis ekologis, pembangunan perkebunan sawit skala besar juga menyebabkan tumpang tindih klaim antara masyarakat dan konsesi perusahaan.
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, persoalan klasik perkebunan sawit di Indonesia bukan hanya perkara kerusakan lingkungan atau deforestasi, akan tetapi persoalan konflik agraria akibat penggusuran dan perampasan tanah masyarakat yang selama ini diakibatkan oleh operasi perusahaan perkebunan.
Baca Juga: Gapki Usul Perluasan Lahan Sawit Digarap BUMN
Dalam catatan KPA, perkebunan sawit merupakan sektor yang paling banyak menyumbang angka konflik agraria di Indonesia. Pada 2023, sedikitnya terjadi 108 letusan konflik agraria di sektor perkebunan dimana 88 kasus disebabkan oleh perkebunan dan industri sawit. Angka ini mengalami kenaikan dari tahun 2022 dengan jumlah konflik sebanyak 99 letusan.
“Jika ditarik selama pemerintahan Presiden Joko Widodo sebelumnya (2015-2023), konflik agraria akibat perkebunan sawit mencapai 1.131 letusan. Selain maraknya konflik agraria, operasi perkebunan sawit juga banyak menyebabkan korban kekerasan akibat pendekatan yang represif terhadap masyarakat di wilayah konflik,” katanya dalam keterangan resminya dikutip KONTAN, Rabu (1/1/2025).
Dewi bilang, selain memicu krisis ekologis, ekspansi pembangunan perkebunan sawit skala besar juga menyebabkan tumpang tindih klaim antara masyarakat dan konsesi perusahaan.
Baca Juga: Perluasan Lahan Sawit Berpotensi Picu Masalah Deforestasi
Sepanjang 2023, KPA mencatat kasus tindakan represif serta kekerasan dari operasi perkebunan telah mengakibatkan 252 (248 laki-laki dan 4 perempuan) mengalami kriminalisasi, 52 orang (43 laki-laki dan 9 perempuan) mengalami penganiayaan, dua orang tertembak dan tiga orang tewas.
“Kami menduga, rencana perluasan ini tidak terlepas dari rencana ambisius Presiden Prabowo untuk pengembangan program biodiesel B40 dan B50. Akan tetapi, ambisi tersebut jika tidak dibarengi dengan evaluasi tata kelola perkebunan sawit, akan menimbulkan persoalan baru berupa konflik agraria,” sebutnya.
Menurut KPA, hal mendesak yang seharusnya dilakukan Presiden Prabowo adalah melakukan evaluasi secara komprehensif terhadap karut marut tata kelola sawit yang terjadi selama ini.
Terutama mengenai dampak positif 16,8 juta hektare lahan sawit yang dimiliki Indonesia bagi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Sebab fakta lapangan menunjukkan sektor ini telah banyak menimbulkan krisis agraria dan ekologis.
Baca Juga: SPKS Tolak Kenaikan Pungutan Ekspor CPO, Khawatirkan Dampak pada Petani Sawit
Berangkat dari alasan itu, KPA meminta Presiden Prabowo untuk mengkaji ulang kembali rencana perluasan lahan perkebunan sawit itu. Pemerintah, lanjut Dewi, justru perlu melihat kembali Inpres Moratorium Sawit yang dulu pernah ditandatangani di masa Pemerintahan Jokowi.
“Melakukan evaluasi terhadap kebijakan yang sudah berjalan tersebut. Pembaruan dan penguatan moratorium sawit penting untuk dilakukan agar persoalan-persoalan agraria dan lingkungan yang kerap ditimbulkan oleh industri sawit dapat dihentikan,” tutur Dewi.
Tak cuma itu, pemerintah perlu segera memimpin penyelesaian konflik agraria di sektor perkebunan yang tidak kunjung selesai. Selama ini, konflik agraria yang diakibatkan perkebunan sawit terjadi lantaran adanya tumpang tindih klaim antara masyarakat dengan pemilik HGU. Sebab, seringkali pemerintah menerbitkan HGU perusahaan di atas tanah dan pemukiman masyarakat.
“Sehingga, penyelesaian konflik agraria di sektor perkebunan dan pengakuan hak atas tanah masyarakat menjadi penting sebelum pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mengarah para perluasan ekspansi perkebunan sawit,” tandas Dewi.
Baca Juga: Industri Sawit Indonesia Mengejar Ketertinggalan Produksi pada Tahun 2025
Sebelumnya, dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) RPJMN 2025-2029 di Gedung Bappenas, Jakarta, Presiden Prabowo menganggap banyak negara luar yang berharap dari Indonesia, termasuk soal pasokan minyak sawit.
Untuk itu, Prabowo berencana memperluas lahan sawit, di tengah gencarnya tuduhan Uni Eropa yang menganggap ekspansi pembangunan perkebunan sawit sebagai biang deforestasi atau kehilangan hutan alam.
“Saya kira ke depan kita tambah kelapa sawit, tidak usah takut kata mereka membahayakan bahwa kelapa sawit deforestasi,” kata Prabowo, dalam rapat tersebut, Senin (30/12/2024).
Ia juga mengaku tidak takut tidak mendapatkan pasar ekspor di Uni Eropa karena adanya penerapan kebijakan uji tuntas rantai pasok produk yang terkait dengan deforestasi.
Pada pidato itu, Prabowo juga meminta kepala daerah maupun aparat polisi dan TNI menjaga perkebunan sawit sebagai aset negara.
Selanjutnya: Bappebti Blokir 1.046 Domain Situs Web Entitas PBK Ilegal
Menarik Dibaca: Hujan Hanya Turun di Sini, Ini Prediksi Cuaca Besok (2/1) di Jawa Barat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News