Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menempatkan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT), khususnya panas bumi, sebagai bagian integral dari visi Asta Cita Jilid II yang menekankan kedaulatan energi nasional dan keberlanjutan lingkungan.
Panas bumi dinilai sebagai solusi strategis dalam mempercepat transisi energi sekaligus meningkatkan kapasitas pembangkit listrik yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Pemerintah terus mendorong investasi dan kolaborasi lintas sektor guna mengoptimalkan potensi panas bumi Indonesia yang merupakan salah satu terbesar di dunia.
Baca Juga: SUN Energy Pasok Teknologi Surya untuk Indocement, Dorong Aksi Iklim di Sektor Semen
Pemanfaatan sumber daya ini tidak hanya menargetkan pencapaian bauran energi bersih sebesar 23% pada 2025, tetapi juga menjadi instrumen untuk mendorong pemerataan pembangunan serta penciptaan lapangan kerja di daerah.
Direktur Jenderal EBTKE, Eniya Listiani Dewi menyampaikan bahwa pemanfaatan langsung energi panas bumi merupakan bentuk nyata kehadiran energi bersih di tengah masyarakat.
Tak hanya untuk pembangkit listrik, energi ini juga dapat digunakan dalam sektor produktif seperti pertanian, perkebunan, perikanan, dan pariwisata.
Salah satu wilayah yang saat ini tengah dikembangkan adalah Cipanas di Kabupaten Cianjur, yang telah ditetapkan sebagai Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi Panas Bumi (WPSPE) oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Keputusan Menteri Investasi/Kepala BKPM atas nama Menteri ESDM No. 1/1/PSPB/PMDN/2022.
Rencana area eksplorasi yang akan digunakan sangat terbatas, yakni hanya 0,02 persen dari total area Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), dan berada di zona pemanfaatan yang secara historis telah digunakan masyarakat sebagai lahan perkebunan sayur (eks Perhutani).
Baca Juga: ICDX: Sertifikat Energi Terbarukan Dongkrak Investasi Pembangkit EBT
Efisiensi dan Ramah Lingkungan
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menjelaskan bahwa pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) bekerja dengan sistem tertutup yang efisien dan memiliki jejak karbon sangat rendah.
Prosesnya melibatkan pengeboran sumur sedalam 2.500 meter untuk mengambil uap panas yang kemudian digunakan menggerakkan turbin.
“Panas bumi tidak menggunakan air tanah dangkal dan tidak berdampak pada vegetasi maupun aktivitas pertanian warga sekitar,” ujar Fahmy dalam keterangannya, Kamis (7/8/2025).
Indonesia saat ini memiliki kapasitas terpasang panas bumi sebesar 2,8 GW, tertinggi kedua di dunia setelah Amerika Serikat (3,9 GW). Pemerintah menargetkan peningkatan kapasitas hingga 7,2 GW pada 2030, sejalan dengan Asta Cita keenam tentang kemandirian ekonomi.
“Panas bumi bukan hanya energi. Ia adalah penjaga masa depan bumi. Dengan pemanfaatan optimal, energi ini bisa menopang ketahanan energi nasional sekaligus menjawab tantangan perubahan iklim,” tegas Fahmy.
Baca Juga: Adakan Konferensi Energi Bersih, Indonesia Diharapkan Jadi Pemain Kunci EBT
Teknologi Minim Risiko, Kolaborasi Maksimal
Fahmy menambahkan, penggunaan teknologi canggih dalam pengembangan panas bumi membuat potensi gangguan lingkungan termasuk seismic sangat minim.
“Getaran dari panas bumi sangat kecil dan lokal. Tidak ada kaitannya dengan gempa bumi,” jelasnya.
Selain itu, proyek panas bumi hanya membutuhkan lahan 1–4% dari total WKP. Area lain tetap dapat digunakan untuk kehutanan, pertanian, atau aktivitas lain. Sejumlah PLTP bahkan terintegrasi dengan pariwisata, seperti di Kamojang dan Dieng.
Dengan emisi CO₂ yang kurang dari 10% dibanding PLTU batu bara, panas bumi menjadi energi masa depan yang layak diprioritaskan.
Saat ini, Indonesia memiliki 17 WKP aktif, dan jumlah ini akan terus bertambah dalam beberapa tahun mendatang.
Baca Juga: Kata Gubernur NTT Terkait Upaya Pengembangan Energi Panas Bumi di Poco Leok
Partisipasi dan Konservasi Beriringan
Kepala Balai Besar TNGGP Arief Mahmud memastikan bahwa pengembangan WKP dilakukan secara hati-hati dengan prinsip konservasi berkelanjutan.
Ia menegaskan bahwa lahan yang dimanfaatkan bukanlah hutan primer, melainkan area budidaya yang dikelola masyarakat sejak lama.
“Tidak ada penggusuran. Justru masyarakat dilibatkan sebagai mitra konservasi. Konservasi dan energi terbarukan bisa berjalan bersama, asal dilakukan secara bertanggung jawab,” ujarnya.
Fahmy pun menambahkan bahwa pelibatan masyarakat dalam proses eksplorasi telah diterapkan, seperti di Kamojang, dan terbukti membangun hubungan saling menguntungkan.
Selanjutnya: Semakin Terbuka, Data Wajib Pajak Kini Dipantau dari Banyak Arah
Menarik Dibaca: Tips Bijak Menabung Ala Neo Bank
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News